Selasa, 01 Desember 2015

ISYAN .......
Karanganyar, 1 November 2015



Malam ini begitu senyap. Hanya sesekali suara jangkerik bersahutan dari kejauhan. Selain itu kegelapan menelan suasana malam. Bahkan tetes hujan sisa derai tadi sore tak mampu meramaikan malam yang mencekam. Pungguk pun tak terdengar berdendang. Padahal jauh di atas  sana, sesekali bulan menampakkan wajahnya sebelum ditelan awan. Mungkin dia jenuh menatapnya, mungkin karena keputusasaannya yang hanya mampu melihat tanpa bisa meraih sinarnya. Seperti pepatah yang selalu menyimbolkannya.
Hatinya adalah malam. Dia begitu ingin sunyi, hingga tak ada seorang pun yang mampu menerka isi hatinya. Dia membiarkan air mata menderai seperti rintik hujan yang terkadang jatuh satu-satu. Tak peduli dengan angin yang menghempaskan basah ke wajahnya. Biarlah airmata dan air hujan menjadi saksi perasaan yang selama ini ia simpan.
Dia menatap langit malam. Begitu redup. Entahlah, dia sendiri tak bisa mengendalikan hasrat yang selama ini menguasai dirinya. Berkali-kali dia berpaling dari kenyataan. Tapi, kiranya Tuhan tak menghendakinya. Saat ini, dia hanya menunggu jawaban Tuhan atas semua yang Dia anugerahkan kepadanya. Karena sampai kapanpun dia tak akan mengerti dengan suasana hati yang indah dan terluka tiap kali dia menyentuh senyuman yang selama ini kerap muncul dimimpinya.
Ah! Perasaan itu begitu cepat berganti dan berpaling. Awalnya bahagia, kemudian menjadi duka yang berkepanjangan. Perasaan seperti apa yang dia rasakan. Sosok yang selama ini menjadi nomor satu di hatinya dengan mudah menerbangkan mimpinya, setelah itu menghempaskannya di bebatuan. Seperti terajam, seperti tertancap di bebatuan cadas, seperti tenggelam di lautan lumpur, seperti luka ini yang dia berikan berulang-ulang.
Awalnya pelan, lalu keras mengimbangi suara hujan yang mulai menderas. Tak kan ada yang mendengar. Semua makhluk sudah terlelap.
Isyan, perempuan terluka itu kerap menangis dalam kelam. Hatinya tak mampu membendung perasaan yang tak mampu diungkapkannya pada siapa pun. Hanya malam, kepada bintang, kepada bulan, kepada suasana malamlah satu-satunya harapan bahwa ada yang mengerti kesedihannya.
Sebenarnya tak ada yang menyakitinya. Hanya perasaannyalah yang membelenggu kebahagiannya. Walaupun terkadang dia merasa bahagia, tapi dia sadar bahwa bahagia itulah yang nantinya menancapkan luka yang berkali-kali lipat.
Isyan tak mampu menepis semua itu. Karena walapun bahagia itu hanya sesaat dia sangat menikmatinya. Dan dia, juga sangat menikmati luka yang mengucurkan darah ke seluruh hidupnya. Hanya itu, karena dia tidak punya pilihan lain, selain menerima kenyataan bahwa dia mencintainya. Dan sebaliknya. Meski .....
“Ahshan ... maafkan aku telah mengingkari janjiku,” kata Isyan waktu itu.
“Maksudmu?” Ahshan balik bertanya.
“Saat itu aku pernah mengatakan padamu bahwa meskipun aku sangat menginginkanmu, aku tak akan pernah merebutmu darinya, tapi saat ini aku ....”
“Jangan teruskan ucapanmu karena apa yang kau rasakan adalah perasaanku saat ini. Kita tak dapat memungkirinya, kita telah terbelenggu oleh rasa itu. Aku tahu aku tak akan bisa melepasmu, dan juga melepasnya”
“Maksudmu?”
“Maafkan aku .... banyak hal yang membuatku tak bisa melepaskannya, banyak hal yang harus aku selesaikan dengannya”
“Apa aku tidak punya kesempatan?”
“Aku selalu berdoa agar kesempatan itu ada untuk kita”
Isyan terdiam. Mati-matian dia menahan sesak mendengar kata-kata itu. Apakah ini adalah akhir dari semuanya? Ah tidak! Aku tak akan mengakirinya. Begitulah kata hati Isyan yang berubah menjadi egois.
Saat itu Isyan merasa dunianya telah hancur. Bumi tempatnya berpijak seakan ingin menelannya ke tanah dan menguburnya hidup-hidup. Biarlah. Bahkan keinginan untuk hidup pun sangat tipis. Tak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan hari itu. Setelah itu, Isyan menangis dan memacu kecepatan motornya dengan kecepatan yang tak biasa. Sebenarnya dia ingin menjatuhkan motornya ke selokan, ke sungai, ke arah tiang listrik. Biarlah tubuhnya hancur beserta harapan dan mimpinya yang hancur berkeping-keping.  Dan kepingan itu terbang bersama angin. Terserak, bercampur dengan pasir yang mustahil bisa dipungut kembali.
Ah.... lagi-lagi Tuhan tak berpihak padanya. Bebatuan kecil yang menggelincirkan roda motornya itu tak mampu menggoreskan luka di tubuh Isyan, meski banyak goresan di sana sini pada motor kesayangannya. Isyan terduduk di dekat motornya. Tak seharusnya dia menjadikannya korban kemarahannya. Seasaat kemmudian Isyan berdiri kemudian terduduk lagi, menangis lagi. Sungguh inilah hari terburuk Isyan. Dan Isyan berusaha melupakannya kemudian bersikap seperti biasa ..... dia harus bisa, bangkit, dan mencoba melupakannya.
“Ahshan, satu-satunya jalan adalah melupakanmu, membuangmu jauh-jauh dari hidupku .... selamanya.” Dan Isyan sudah bertekad.
Isyan memang bisa melakukannya. Tapi hanya beberapa hari... lalu senyum itu melunturkan semua amarahnya, kekecewaannya, dan tatapan matanya kembali menghadirkan bunga yang bersemi setelah layu beberapa saat. Isyan menyesal, itulah kelemahannya. Dia dikalahkan oleh cinta yang begitu besar dia rasakan. Tak ada yang mampu mengira betapa besar perasaan itu melekat di hatinya. Hanya karena Ahshan, laki-laki yang hanya mencintainya, tapi menolak untuk memilikinya.
Ahshan tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk merayu Isyan agar kembali padanya. Karena tanpa diminta, Isyan akan berjalan ke arahnya. Bukan dirinya, tapi perasaannya yang selalu menuntun agar Isyan tak berada jauh dari pemuda kesayangannya.
“Isyan, maafkan aku, aku merasa akhir-akhir ini kau menjauhiku.” Ahshan berkata
“Ah, Tidak!” Isyan berkilah
“Katakan, apa aku melakukan kesalahan?” Ahshan kembali bertanya,
Kali ini Isyan tak bisa menutupinya, dengan lantang dia berteriak, “ Aku tak mengerti dengan dirimu, kau bilang kau mencintaiku, tapi kau tak pernah menginginkanku, perasaan seperti apa itu? Kau sungguh mempermainkanku, aku benci padamu, dan jangan harap aku mempercayaimu lagi.”
“Mengertilah, aku tak bermaksud seperti itu, aku ....”
“Sudahlah, tolong jauhi aku....”
Isyan pergi. Dengan luka yang teramat dalam. Dengan cinta yang berubah menjadi kebencian, kekecewaan, dan kehancuran. Tapi hanya sesaat. Beberapa detik kemudian, perasaan cinta itu muncul kembali.
Lalu dengan cara apa lagi Isyan melupakannya. Hatinya telah lelah menahan beban yang begitu berat. Seandainya boleh meminta, ia tak pernah menginginkan perasaan itu. Tak pernah. Tak akan pernah. Tapi, entahlah...Tuhan punya rahasia besar di balik kisah ini. Saat ini Isyan hanya bisa berharap agar Tuhan segera melepaskan perasaan yang tak semestinya ini.
Untuk apa, jika hanya menimbulkan luka bagi semua orang, jika hanya menimbulkan kecemburuan saat Ahshan bersamanya. Walapun sebenarnya ia lebih berhak atas Ahshan. Tidak! Dia tak pernah punya hak. “Karena cinta itu bukan untuknya, tapi untukku! “Kepercayaan itulah yang sudah menguasai Isyan.
Isyan membiarkan rasa cinta itu menuntunnya ke dalam gelap. Isyan sudah merelakan seandainya cinta itu membuatnya menjadi orang yang egois, jahat, dan penuh dendam. Tapi sampai kapanpun dia tak pernah rela jika dia kehilangan cinta itu. Dan tak akan rela dia memilikinya. Tapi, dia hanya bisa mengatakan “Tak rela” karena sesungguhnya Isyan tengah berkhayal. Dan tak mau melihat kenyataan bahwa Ahshan bukanlah miliknya, dan tak pernah mau memilikinya.
Ya! Mungkin dengan malam Isyan bisa melampiaskan kepedihannya. Seperti saat ini. Saat ia kesal dengannya, saat ia merindukannya, saat ia merasakan cemburu yang amat sangat, saat ia membenci semua keadaan yang melukai hatinya. Melukai jiwanya. Tak akan pernah terobati, karena dia tak akan pernah tergantikan. Meski kenyataannya, Isyan telah tercampakkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar