ISYAN .......
Karanganyar, 1 November 2015
Malam ini begitu senyap. Hanya
sesekali suara jangkerik bersahutan dari kejauhan. Selain itu kegelapan menelan
suasana malam. Bahkan tetes hujan sisa derai tadi sore tak mampu meramaikan
malam yang mencekam. Pungguk pun tak terdengar berdendang. Padahal jauh di
atas sana, sesekali bulan menampakkan
wajahnya sebelum ditelan awan. Mungkin dia jenuh menatapnya, mungkin karena
keputusasaannya yang hanya mampu melihat tanpa bisa meraih sinarnya. Seperti
pepatah yang selalu menyimbolkannya.
Hatinya adalah malam. Dia begitu ingin
sunyi, hingga tak ada seorang pun yang mampu menerka isi hatinya. Dia
membiarkan air mata menderai seperti rintik hujan yang terkadang jatuh
satu-satu. Tak peduli dengan angin yang menghempaskan basah ke wajahnya.
Biarlah airmata dan air hujan menjadi saksi perasaan yang selama ini ia simpan.
Dia menatap langit malam. Begitu
redup. Entahlah, dia sendiri tak bisa mengendalikan hasrat yang selama ini
menguasai dirinya. Berkali-kali dia berpaling dari kenyataan. Tapi, kiranya
Tuhan tak menghendakinya. Saat ini, dia hanya menunggu jawaban Tuhan atas semua
yang Dia anugerahkan kepadanya. Karena sampai kapanpun dia tak akan mengerti
dengan suasana hati yang indah dan terluka tiap kali dia menyentuh senyuman
yang selama ini kerap muncul dimimpinya.
Ah! Perasaan itu begitu cepat berganti
dan berpaling. Awalnya bahagia, kemudian menjadi duka yang berkepanjangan.
Perasaan seperti apa yang dia rasakan. Sosok yang selama ini menjadi nomor satu
di hatinya dengan mudah menerbangkan mimpinya, setelah itu menghempaskannya di
bebatuan. Seperti terajam, seperti tertancap di bebatuan cadas, seperti
tenggelam di lautan lumpur, seperti luka ini yang dia berikan berulang-ulang.
Awalnya pelan, lalu keras mengimbangi
suara hujan yang mulai menderas. Tak kan ada yang mendengar. Semua makhluk
sudah terlelap.
Isyan, perempuan terluka itu kerap
menangis dalam kelam. Hatinya tak mampu membendung perasaan yang tak mampu
diungkapkannya pada siapa pun. Hanya malam, kepada bintang, kepada bulan,
kepada suasana malamlah satu-satunya harapan bahwa ada yang mengerti
kesedihannya.
Sebenarnya tak ada yang menyakitinya.
Hanya perasaannyalah yang membelenggu kebahagiannya. Walaupun terkadang dia
merasa bahagia, tapi dia sadar bahwa bahagia itulah yang nantinya menancapkan
luka yang berkali-kali lipat.
Isyan tak mampu menepis semua itu.
Karena walapun bahagia itu hanya sesaat dia sangat menikmatinya. Dan dia, juga
sangat menikmati luka yang mengucurkan darah ke seluruh hidupnya. Hanya itu,
karena dia tidak punya pilihan lain, selain menerima kenyataan bahwa dia
mencintainya. Dan sebaliknya. Meski .....
“Ahshan ... maafkan aku telah
mengingkari janjiku,” kata Isyan waktu itu.
“Maksudmu?” Ahshan balik bertanya.
“Saat itu aku pernah mengatakan padamu
bahwa meskipun aku sangat menginginkanmu, aku tak akan pernah merebutmu
darinya, tapi saat ini aku ....”
“Jangan teruskan ucapanmu karena apa
yang kau rasakan adalah perasaanku saat ini. Kita tak dapat memungkirinya, kita
telah terbelenggu oleh rasa itu. Aku tahu aku tak akan bisa melepasmu, dan juga
melepasnya”
“Maksudmu?”
“Maafkan aku .... banyak hal yang
membuatku tak bisa melepaskannya, banyak hal yang harus aku selesaikan
dengannya”
“Apa aku tidak punya kesempatan?”
“Aku selalu berdoa agar kesempatan itu
ada untuk kita”
Isyan terdiam. Mati-matian dia menahan
sesak mendengar kata-kata itu. Apakah ini adalah akhir dari semuanya? Ah tidak!
Aku tak akan mengakirinya. Begitulah kata hati Isyan yang berubah menjadi
egois.
Saat itu Isyan merasa dunianya telah
hancur. Bumi tempatnya berpijak seakan ingin menelannya ke tanah dan
menguburnya hidup-hidup. Biarlah. Bahkan keinginan untuk hidup pun sangat
tipis. Tak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan hari itu. Setelah itu, Isyan
menangis dan memacu kecepatan motornya dengan kecepatan yang tak biasa.
Sebenarnya dia ingin menjatuhkan motornya ke selokan, ke sungai, ke arah tiang
listrik. Biarlah tubuhnya hancur beserta harapan dan mimpinya yang hancur
berkeping-keping. Dan kepingan itu
terbang bersama angin. Terserak, bercampur dengan pasir yang mustahil bisa
dipungut kembali.
Ah.... lagi-lagi Tuhan tak berpihak
padanya. Bebatuan kecil yang menggelincirkan roda motornya itu tak mampu
menggoreskan luka di tubuh Isyan, meski banyak goresan di sana sini pada motor
kesayangannya. Isyan terduduk di dekat motornya. Tak seharusnya dia menjadikannya
korban kemarahannya. Seasaat kemmudian Isyan berdiri kemudian terduduk lagi,
menangis lagi. Sungguh inilah hari terburuk Isyan. Dan Isyan berusaha
melupakannya kemudian bersikap seperti biasa ..... dia harus bisa, bangkit, dan
mencoba melupakannya.
“Ahshan, satu-satunya jalan adalah
melupakanmu, membuangmu jauh-jauh dari hidupku .... selamanya.” Dan Isyan sudah
bertekad.
Isyan memang bisa melakukannya. Tapi
hanya beberapa hari... lalu senyum itu melunturkan semua amarahnya,
kekecewaannya, dan tatapan matanya kembali menghadirkan bunga yang bersemi
setelah layu beberapa saat. Isyan menyesal, itulah kelemahannya. Dia dikalahkan
oleh cinta yang begitu besar dia rasakan. Tak ada yang mampu mengira betapa
besar perasaan itu melekat di hatinya. Hanya karena Ahshan, laki-laki yang
hanya mencintainya, tapi menolak untuk memilikinya.
Ahshan tak perlu menghabiskan banyak
waktu untuk merayu Isyan agar kembali padanya. Karena tanpa diminta, Isyan akan
berjalan ke arahnya. Bukan dirinya, tapi perasaannya yang selalu menuntun agar
Isyan tak berada jauh dari pemuda kesayangannya.
“Isyan, maafkan aku, aku merasa
akhir-akhir ini kau menjauhiku.” Ahshan berkata
“Ah, Tidak!” Isyan berkilah
“Katakan, apa aku melakukan
kesalahan?” Ahshan kembali bertanya,
Kali ini Isyan tak bisa menutupinya,
dengan lantang dia berteriak, “ Aku tak mengerti dengan dirimu, kau bilang kau
mencintaiku, tapi kau tak pernah menginginkanku, perasaan seperti apa itu? Kau
sungguh mempermainkanku, aku benci padamu, dan jangan harap aku mempercayaimu
lagi.”
“Mengertilah, aku tak bermaksud
seperti itu, aku ....”
“Sudahlah, tolong jauhi aku....”
Isyan pergi. Dengan luka yang teramat
dalam. Dengan cinta yang berubah menjadi kebencian, kekecewaan, dan kehancuran.
Tapi hanya sesaat. Beberapa detik kemudian, perasaan cinta itu muncul kembali.
Lalu dengan cara apa lagi Isyan
melupakannya. Hatinya telah lelah menahan beban yang begitu berat. Seandainya
boleh meminta, ia tak pernah menginginkan perasaan itu. Tak pernah. Tak akan
pernah. Tapi, entahlah...Tuhan punya rahasia besar di balik kisah ini. Saat ini
Isyan hanya bisa berharap agar Tuhan segera melepaskan perasaan yang tak
semestinya ini.
Untuk apa, jika hanya menimbulkan luka
bagi semua orang, jika hanya menimbulkan kecemburuan saat Ahshan bersamanya.
Walapun sebenarnya ia lebih berhak atas Ahshan. Tidak! Dia tak pernah punya
hak. “Karena cinta itu bukan untuknya, tapi untukku! “Kepercayaan itulah yang
sudah menguasai Isyan.
Isyan membiarkan rasa cinta itu
menuntunnya ke dalam gelap. Isyan sudah merelakan seandainya cinta itu
membuatnya menjadi orang yang egois, jahat, dan penuh dendam. Tapi sampai
kapanpun dia tak pernah rela jika dia kehilangan cinta itu. Dan tak akan rela
dia memilikinya. Tapi, dia hanya bisa mengatakan “Tak rela” karena sesungguhnya
Isyan tengah berkhayal. Dan tak mau melihat kenyataan bahwa Ahshan bukanlah
miliknya, dan tak pernah mau memilikinya.
Ya! Mungkin dengan malam Isyan bisa
melampiaskan kepedihannya. Seperti saat ini. Saat ia kesal dengannya, saat ia
merindukannya, saat ia merasakan cemburu yang amat sangat, saat ia membenci
semua keadaan yang melukai hatinya. Melukai jiwanya. Tak akan pernah terobati,
karena dia tak akan pernah tergantikan. Meski kenyataannya, Isyan telah
tercampakkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar