Karanganyar,
2011
HIDAYAH
Jalanan ini penuh duri.
Begitu sulit untukku menapaki. Aku tak mampu menahan siksa yang maha pedih.
***
Itulah rintih hatiku. Aku kenal kau sejak kecil. Tapi
hanya sekedar mengenalmu. Tak tahu siapa kau dan aku tak mau tahu. Terlalu dini
untukku menerjemahkan siapa kau. Pernah terlintas dibenakku waktu itu, kau
seperti hujan, memunculkan pelangi dan membasahi bumi. Mungkin kau juga seperti
awan, terkadang putih, lalu biru, dan menjingga. Entahlah ....
Sungguh aku tidak bermaksud menghilangkanmu dari
hatiku. Aku teringat cerita ayah bahwa kaulah yang berkuasa. Meski aku tidak
tahu apa maksud kata-kata itu, tapi aku mengiyakannya, karena rasa takut dan
patuhku pada dia. Aku pun teringat kata ibu, bahwa kaulah yang paling
mengasihi. Seperti kasih ibukah? Ah...... masih saja aku tak tahu!
Jika bisa kuungkap, ingin kumaki dunia. Menyesal
rasanya hidup beralaskan bumi jika hanya begini. Dia yang membesarkanku, dia
yang menjadi latarku kala mendung, lalu hujan, dan terang kembali. Dia hanya
menyewakan tempat dan tak mampu menjadikanku bangsawan yang enak-enakan duduk
di kursi empuk, dan tidur di ranjang busa. Dia tak menyediakan selimut jika
dingin menelusup daging. Tak juga menyediakan makanan jika lapar mengoyak perut
dan mengaburkan pandangan. Sungguh terlalu. Dunia hanya berpihak pada mereka
yang kaya. Lalu, dimana kau?
Jalanan yang tiap hari kutapaki terasa sunyi. Hanya
satu dua manusia melintas sekilas, lalu pergi dan tak nampak lagi. Malam sudah
larut rupanya. Aku tak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan rasa gundah dan
gelisah. Gerimis yang semula jatuh satu-satu kian menderas. Mampu menyapu debu
yang mampir di wajahku. Mampu menghapus lelah saat melangkah.
Kuhabiskan malam dengan berjalan. Sesekali kusapa
bintang yang memudar dengan rintihan. Mataku jeli mencari-cari meski aku tak
tahu arah yang pasti. Aku masih ragu dengan keberadaanmu. Bagaimana mungkin
wanita-wanita berjubah dan laki-laki penghuni masjid itu mengatakan bahwa kau
dekat. Dari dulu aku tak menemukanmu, bahkan dalam mimpi sekalipun. Cerita
khayalan. Mungkin saja mereka mengarang cerita. Atau mereka hanya mencari
teman. Aku masih ingat dengan berita di koran yang kujadikan alas tidurku yang bertuliskan bahwa
teroris-teroris yang menghancurkan kota, mengebom beberapa tempat adalah
manusia-manusia seperti mereka. Aku perlu bukti untuk mempercayai mereka. Kau
pemurah, kau pengasih, kau penyayang, kau pemberi rejeki, kau yang menurunkan
hujan, kau adalah segalanya. Mana? Apa itu ada pengecualiannya? Aku benar-benar
ingin bertemu denganmu untuk melampiaskan penderitaan dan keluh kesah ini.
Siang tadi aku sudah mencarimu untuk kesekian kali.
Katanya kau punya surga dan surga identik dengan keindahan. Sepanjang yang aku
lihat, tempat-tempat indah yang pernah kutemui adalah taman yang penuh bunga
berwarna-warni. Aku menyukainya. Kucoba melangkahkan kaki ke taman kota dekat
alun-alun yang sesak dipenuhi manusia-manusia berkantong tebal. Aku duduk di
bawah pohon rindang agar sang raja siang tak terlalu menyengat kulitku.
Menunggu hingga jemu, menanti tapi aku tak kau temui. Kulihat burung kecil
mengerling. Entah apa maksudnya. Dalam imajinasi, aku mendengar dia
mencemoohkanku, menertawakanku. Katanya,” Perempuan bodoh, pulang sajalah, kau
takkan menemui apa-apa.”
Jelas aku panas mendengar cemoohan itu, aku
berteriak,” Hai, kau binatang yang bodoh, ayah dan ibuku bilang dia itu ada,
mereka juga bilang bahwa dia ada. Aku boleh meragukan mereka, tapi tidak untuk
orang tuaku.” Perlahan-lahan air mataku meleleh, deras, lalu membanjiri mukaku
yang kusut. Rasa putus asa mulai membinasakan semangatku untuk bertemu dengamu.
Mungkin kau tak menyukai tempat ini karena bunga-bunga belum sempurna
bermekaran.
Kulangkahkan kaki menuju taman yang lebih banyak
bunganya. Di sana banyak kupu-kupu, mungkin kau menjelma menjadi salah satu
dari mereka. Sebersit asa menumbuhkan semangatku lagi.
“Berhenti!” suara keras terdengar ditelingaku. Seorang
pemuda kekar menyeretku keluar sambil membawa tongkat. Tubuhku gemetar.
“Apa salahku, Pak?” tanyaku ketakutan.
“Apa salahmu? Dasar perempuan tak tahu diri, ini bukan
tempatmu. Kau lihat sekelilingmu, mereka berpakaian bagus, bersih, dan tidak
kumal seperti kau!”
“Maaf Pak, aku ingin berada di surga agar bisa bertemu
dengannya.”
Lelaki kekar itu tertawa terbahak-bahak. “Kau baru keluar dari rumah sakit jiwa? Cepat
pergi, kalau mau bertemu dengannya berdirilah di tengah jalan, biarkan
mobil-mobil mewah itu menabrakmu hingga mati, setelah itu, kau akan bertemu
dengannya, tapi bukan di surga melainkan di neraka!”
Aku tersinggung mendengar kata-kata itu. Meski aku tak
tahu pasti tapi aku pernah mendengar bahwa kau juga punya neraka, tempat
terburuk bagi manusia. Sedangkan yang kuingin adalah hidup layak, bahagia dan
lepas dari penderitaan ini.
Jadi kau tak
ada di taman? Jika kau ada di sana, berarti kau hanya berpihak pada manusia
berpakaian bersih dan berkantong tebal. Lalu apa bedanya kau dengan DPR yang
bergaya hidup mewah dengan memakai uang rakyat dan kaum lemah?
Aku tak mau kena pukulan tongkat dari Si Kekar. Meski
marah aku tak berani melawan. Tubuhku pasti roboh dalam sekali pukulan. Aku
berjalan lagi, menyusuri jalanan ramai, mengukir jejak di atas pedih.
Rasa dahaga mengantarku pergi ke emper bagunan besar yang tak berkursi dan berkamar. Di halamannya
ada air kran yang dapat kuminum beberapa teguk. Lumayan untuk membasahi ladang
tandus ditenggorokanku. Setelah selesai minum, kubasuh mukaku dengan air
tersebut.
“Kakak sedang berwudhu? Ini bukan tempat wanita, Kak. Kamar
mandi wanita di ujung!”
Aku menoleh mendengar kata-kata itu. Kudapati seorang
laki-laki kecil yang tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas dengan
senyuman. “Aku sedang mencari air untuk ...”
Belum sempat kuteruskan kata-kataku dia berkata,
“Kakak hebat, kakak tak melupakan salat.”
Aku ternganga mendengar kata-kata itu. Salat? Ayah dan
ibuku juga pernah salat tapi, sebelum sempat mengajariku, mereka pergi
meninggalkanku sendiri terombang-ambing di dalam sepi. Anak kecil itu berlari,
beberapa saat masih kulihat, setelah itu menghilang diantara hiruk-pikuk
jalanan. Kembali pikirku melayang pada bayangmu. Aku sudah lelah. Baiknya kau
tunjukkan saja dirimu secara nyata di depanku, lalu membantuku lepas dari jerat
duka yang melilitku sejak dulu. Dengan begitu, aku tahu bahwa kau peduli dan
ada untukku.
Rasa penat ini meninabobokanku. Tak perlu waktu lama
untuk terpejam. Sejurus kemudian aku terseret kedunia maya. Tubuhku
melayang-layang di atas tempat yang indah. di sisiku terdapat pelangi warna-warni yang dihuni oleh bidadari-bidadari cantik.
Mungkin salah satunya adalah Nawang Wulan seperti yang didongengkan ibuku dulu.
Mataku terbuka karena alunan merdu dari puncak menara. Aku sering mendengarnya,
tapi tak tahu apa artinya. Yang jelas suara itu berbeda dengan alunan musik
dangdut yang digandrungi masyarakat. Dari jauh kulihat beberapa orang
mendatangi tempat ini. Bergegas aku bangun. Aku tak mau kena maki lagi. Aku
harus pergi sebelum mereka memukuli. Beberapa orang menolehku saat berlari.
Tanpa sengaja, kulihat anak kecil tadi berada dalam rombongan itu. Hatiku
menarik kesimpulan bahwa anak laki-laki tadilah yang melaporkan pada mereka
tentang keberadaanku di sini. Tak kecil, tak besar, sama saja. Tidak berperikemanusiaan.
Titik!
Itulah pengalamanku siang tadi. Aku tetap tak
melihatmu di mana-mana. Jangan-jangan kau fatamorgana. Tidak ada. Tidak nyata.
Aku berusaha menepis kegundahan ini. Jika di siang hari tidak ada, masih ada
malam hari. Ya, malam ini aku mencari bukti.
Kucari tempat terindah di malam ini. Hampir tak ada
yang istimewa. Hanya gelap. Bahkan selarut ini. Aku takut tiba-tiba pagi
menjemput. Aku hanya punya waktu beberapa jam untuk meniti malam.
Tibalah aku di tempat yang ramai dikunjungi orang. Di luar
bangunan terpampang besar tulisan dengan huruf kapital. Aku tak begitu pandai
mengeja aksara. Butuh waktu lama untuk mengetahui itu tempat apa. Setelah
beberapa menit berhasil kubaca tulisan itu “DISKOTIK”
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Bagaimana mungkin
aku bisa masuk. Mereka yang berada di dalam berpakaian indah, sedangkan aku ...
ah, aku tak mau ditertawakan lagi. Mungkin kau pun tidak ada di sana.
Kubalikkan tubuh ini.
“Tunggu!” tiba-tiba kudengar suara keras dari
belakangku. Aku berlari ketakutan. orang itu mengejarku.
“Tolong, aku berjanji tidak akan ke tempat ini lagi.” kataku
sambil meronta ketika orang itu berhasil menangkapku.
“Siapa yang akan menangkapmu, kulihat kau memandangi
tempat ini dari tadi, apa kau tertarik?” katanya.
“Apa Tuan akan membawaku masuk ke dalam?” tanyaku tak
percaya.
“Tentu saja, bahkan aku akan memberimu pakaian yang
indah dan perhiasan yang mahal, mari ikut denganku.”
Dengan senang hati kuikuti orang itu. Harapan untuk
menemukanmu di tempat ini semakin menyala. Aku didandaninya dengan pakaian
indah. Seumur
hidup, baru kali ini aku memakai gaun seelok yang aku pakai malam ini. Inikah
keindahan sejati? Rasanya aku benar-benar menemui surga.
Selesai berdandan, aku melihat tubuhku dicermin.
Betapa cantiknya bayangan tubuh dalam kaca itu. Aku tak menyangka akan secantik
ini. Mungkin bedak yang tadi dipoleskan di pipiku yang membuat cantik. Selama
ini aku hanya berbedak dengan debu-debu jalanan yang kotor. Kecantikanku yang
sebenarnya tertutupi oleh semua itu.
“Sekarang, kau telah selesai berdandan, kau sangat
cantik.” kata orang yang tadi mendandaniku. “Sekarang, temui dia?” dia
melanjutkan perkataannya.
“Siapa dia? tanyaku dalam hati. Apa mungkin “dia” yang
dimaksudkan adalah kau? Dengan bersemangat aku menemuinya. Saat aku keluar
beberapa mata memandangku. Tatapan mata yang aneh. Mereka merayapi tubuhku
dengan mata-mata liar. Aku risih dipandangi seperti itu. Tapi aku harus berani
menghadapi tatapan mereka agar aku bertemu denganmu.
“Hai, saya di sini!” seorang laki-laki tua berkepala
botak melambaikan tangan. Aku menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa, hanya
aku. Apa mungkin dia memanggilku?
“Ya, kamu!” katanya lagi.
Aku mendekat. Apa mungkin itu kau? Hatiku
bertanya-tanya. Berbagai macam perasaan aneh bercampur menjadi satu. Takut,
gelisah, dan tak percaya. Di sela-sela jari tangannya terselip sebatang rokok.
Sesekali dia mengepulkan asap dari hidung dan mulutnya. Jijik rasanya aku
melihat caranya merokok. Botol minuman keras terserak di lantai dan meja. Dia
menarik lenganku dan memaksaku duduk di dekatnya. Aku menepis. Tidak mungkin
aku berada di dekat orang macam dia. Mulutnya bau alkohol. Semeter berdiri di
depannya saja sudah membuatku ingin muntah. Dia terus menarikku. Aku meronta
dan dengan mudah kudorong dia hingga jatuh ke lantai. Tak sulit aku
melakukannya karena dia dalam keadaan mabuk.
Kubawa tubuh ini berlari dari tempat terkutuk itu. Aku
yakin kau tak ada di situ. Tempat yang kukira surga itu ternyata dihuni manusia-manusia
berhati iblis. Tak peduli aku dicaci maki mereka. Aku terus berlari, berlari,
dan berlari hingga tiba di tempat yang tadi aku singgahi. Tempat aku bertemu
dengan laki-laki kecil yang menurutku penghianat. Kuminum lagi beberapa teguk
air dari keran yang sama. Tiba-tiba kudengar suara lembut dari belakngku.
“Kakak salat malam disini? Subhanallah, benar-benar
wanita yang solehah.”
Aku menoleh. Laki-laki yang tadi kutemui berdiri
dengan senyum melengkung bulan sabit.
“Siapa kau?” tanyaku pelan.
“Aku Yusuf, nama Kakak siapa?”
“Mayang” aku menjawab pendek.
“Kakak sedang berwudhu?”
“Tidak, aku ingin minum.”
“Malam-malam begini Kakak minum di sini? Apa yang
Kakak lakukan hingga di malam yang dingin ini begitu kehausan?”
“Aku sedang mencari.”
“Mencari siapa?” laki-laki kecil yang mengaku bernama
Yusuf itu bertanya heran.
“Mencari pemilik surga dan pemberi kehidupan, aku
ingin menemuinya dan meminta padanya agar lepas dari kehidupan jalanan. Apa kau
tahu dimana dia?”
Yusuf kecil tersenyum. “Kakak ingin bertemu
dengannya?” tanyanya. Aku mengangguk mengiyakannya.
“Ikut denganku, Kak!” Yusuf mengajakku memasuki
bangunan itu. “Menghadaplah ke kiblat, lalu tumpahkan segala kesedihan Kakak
padanya. Adukan segala kegundahan Kakak.”
Aku mengikuti semua sarannya. Sambil menangis
kutumpahkan semua keluh kesah ini padamu seakan-akan kau ada di dekatku.
Setelah puas, aku tertidur di dalam bangunan itu.
Keesokan harinya, aku dibangunkan oleh suara burung
yang bercericit. Sang fajar menyibak kabut tipis dengan pancaran emasnya yang
hangat.
“Kakak sudah bangun? Mari kita salat subuh, Kak!”
Lagi-lagi suara Yusuf. Sulit sekali tubuh ini berdiri. Pengalaman semalam
membuatku lelah.
“Salat subuh? Bagaimana aku melakukannya? Kenapa aku
harus melakukannya?” tanyaku bertubi-tubi.
“Kakak ingin bertemu Dia?” Yusuf balik bertanya.
“Iya, apa itu semacam ritual agar aku bisa bertemu
dengannya?”
Yusuf tersenyum simpul. “Itu kewajiban kita, Kakak
seorang muslim bukan?”
“Orang tuaku bilang kami sekeluarga beragama islam,
tapi aku tak tahu apa-apa.”
“Kalau begitu, ucapkan shahadat, Kak!”
Aku semakin tak mengerti kata-kata anak kecil ini.
Salat, sahadat, apa itu? Aku mencoba menirukan kalimat yang ia bacakan. Sulit
memang. Kata Yusuf orang yang beragama islam harus bersahadat dulu. Setelah
itu, dia mengajariku tentang berwudhu dan salat.
Entah apa yang terjadi. Sejak saat itu hatiku tenang.
Gelisah yang dulu menghantui diri sedikit demi sedikit menghilang. Apalagi
ketika dia melantunkan ayat-ayat suci dari kitab yang dia bawa. Dia pernah bilang
padaku bahwa namanya Al Quran. Hari demi hari aku semakin dekat dengan Yusuf.
Tapi aku masih penasaran. Aku belum juga bertemu
denganmu. Aku belum pernah melihat wajahmu. Apalagi main ke surgamu. Begitu
sulitnya kau untuk ditemui. Suatu hari ketika aku berdua dengan malaikat kecil
penolongku, aku bertanya, “Yusuf, kau bilang kau akan mempertemukanku dengan
dia, tapi mana? Apa dia masih belum mau bertemu denganku?”
Lagi-lagi Yusuf tersenyum. “Kak, kau sudah bertemu
dengannya, tapi tak menyadarinya.”
Aku tersentak, “Dimana aku bertemu dengannya? Aku tidak
merasa bertemu dengannya.” kataku.
Yusuf kecil meraih tanganku, perlahan-lahan dia
meletakkan tanganku yang ia pegang ke dadaku dan berkata, “Dia ada di sini,
Kak, dihatimu.”
“Apa?” aku bertambah heran.
“Kakak selalu dekat dengannya, jika Kakak rajin salat,
mengaji, dan menjalankan segala perintahnya serta menjauhi larangannya.”
“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, Yusuf.”
“Dia itu zat yang maha suci. Kita tak dapat
melihatnya, tapi yakinlah dia itu ada. Dia yang kan menolong kita keluar dari
kesusahan, dia yang akan mengabulkan semua doa kita.”
Aku menangis mendengar ucapan Yusuf. Bagaikan terkena
siraman air hujan. Hatiku yang gersang terbasahi oleh kata-kata Yusuf yang
telah menyelamatkanku. Betapa bodohnya aku selama ini. Aku mencarimu
kemana-mana padahal kau begitu dekat.
Terima kasih kau telah mengirimkan malaikat kecil padaku
untuk menemukanmu. Jagalah hatiku agar aku tak pernah berpaling darimu.
Tuntunlah aku agar tak menjadi manusia yang sesat. Terima kasih karna kau telah memberikan hidayah-Mu padaku. Terjawab sudah kerinduanku selama
ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar