Jumat, 09 Oktober 2015

HIDAYAH



Karanganyar, 2011
HIDAYAH

Jalanan ini penuh duri. Begitu sulit untukku menapaki. Aku tak mampu menahan siksa yang maha pedih.
***
Itulah rintih hatiku. Aku kenal kau sejak kecil. Tapi hanya sekedar mengenalmu. Tak tahu siapa kau dan aku tak mau tahu. Terlalu dini untukku menerjemahkan siapa kau. Pernah terlintas dibenakku waktu itu, kau seperti hujan, memunculkan pelangi dan membasahi bumi. Mungkin kau juga seperti awan, terkadang putih, lalu biru, dan menjingga. Entahlah ....
Sungguh aku tidak bermaksud menghilangkanmu dari hatiku. Aku teringat cerita ayah bahwa kaulah yang berkuasa. Meski aku tidak tahu apa maksud kata-kata itu, tapi aku mengiyakannya, karena rasa takut dan patuhku pada dia. Aku pun teringat kata ibu, bahwa kaulah yang paling mengasihi. Seperti kasih ibukah? Ah...... masih saja aku tak tahu!
Jika bisa kuungkap, ingin kumaki dunia. Menyesal rasanya hidup beralaskan bumi jika hanya begini. Dia yang membesarkanku, dia yang menjadi latarku kala mendung, lalu hujan, dan terang kembali. Dia hanya menyewakan tempat dan tak mampu menjadikanku bangsawan yang enak-enakan duduk di kursi empuk, dan tidur di ranjang busa. Dia tak menyediakan selimut jika dingin menelusup daging. Tak juga menyediakan makanan jika lapar mengoyak perut dan mengaburkan pandangan. Sungguh terlalu. Dunia hanya berpihak pada mereka yang kaya. Lalu, dimana kau?
Jalanan yang tiap hari kutapaki terasa sunyi. Hanya satu dua manusia melintas sekilas, lalu pergi dan tak nampak lagi. Malam sudah larut rupanya. Aku tak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan rasa gundah dan gelisah. Gerimis yang semula jatuh satu-satu kian menderas. Mampu menyapu debu yang mampir di wajahku. Mampu menghapus lelah saat melangkah.
Kuhabiskan malam dengan berjalan. Sesekali kusapa bintang yang memudar dengan rintihan. Mataku jeli mencari-cari meski aku tak tahu arah yang pasti. Aku masih ragu dengan keberadaanmu. Bagaimana mungkin wanita-wanita berjubah dan laki-laki penghuni masjid itu mengatakan bahwa kau dekat. Dari dulu aku tak menemukanmu, bahkan dalam mimpi sekalipun. Cerita khayalan. Mungkin saja mereka mengarang cerita. Atau mereka hanya mencari teman. Aku masih ingat dengan berita di koran yang kujadikan  alas tidurku yang bertuliskan bahwa teroris-teroris yang menghancurkan kota, mengebom beberapa tempat adalah manusia-manusia seperti mereka. Aku perlu bukti untuk mempercayai mereka. Kau pemurah, kau pengasih, kau penyayang, kau pemberi rejeki, kau yang menurunkan hujan, kau adalah segalanya. Mana? Apa itu ada pengecualiannya? Aku benar-benar ingin bertemu denganmu untuk melampiaskan penderitaan dan keluh kesah ini.
Siang tadi aku sudah mencarimu untuk kesekian kali. Katanya kau punya surga dan surga identik dengan keindahan. Sepanjang yang aku lihat, tempat-tempat indah yang pernah kutemui adalah taman yang penuh bunga berwarna-warni. Aku menyukainya. Kucoba melangkahkan kaki ke taman kota dekat alun-alun yang sesak dipenuhi manusia-manusia berkantong tebal. Aku duduk di bawah pohon rindang agar sang raja siang tak terlalu menyengat kulitku. Menunggu hingga jemu, menanti tapi aku tak kau temui. Kulihat burung kecil mengerling. Entah apa maksudnya. Dalam imajinasi, aku mendengar dia mencemoohkanku, menertawakanku. Katanya,” Perempuan bodoh, pulang sajalah, kau takkan menemui apa-apa.”
Jelas aku panas mendengar cemoohan itu, aku berteriak,” Hai, kau binatang yang bodoh, ayah dan ibuku bilang dia itu ada, mereka juga bilang bahwa dia ada. Aku boleh meragukan mereka, tapi tidak untuk orang tuaku.” Perlahan-lahan air mataku meleleh, deras, lalu membanjiri mukaku yang kusut. Rasa putus asa mulai membinasakan semangatku untuk bertemu dengamu. Mungkin kau tak menyukai tempat ini karena bunga-bunga belum sempurna bermekaran.
Kulangkahkan kaki menuju taman yang lebih banyak bunganya. Di sana banyak kupu-kupu, mungkin kau menjelma menjadi salah satu dari mereka. Sebersit asa menumbuhkan semangatku lagi.
“Berhenti!” suara keras terdengar ditelingaku. Seorang pemuda kekar menyeretku keluar sambil membawa tongkat. Tubuhku gemetar.
“Apa salahku, Pak?” tanyaku ketakutan.
“Apa salahmu? Dasar perempuan tak tahu diri, ini bukan tempatmu. Kau lihat sekelilingmu, mereka berpakaian bagus, bersih, dan tidak kumal seperti kau!”
“Maaf Pak, aku ingin berada di surga agar bisa bertemu dengannya.”
Lelaki kekar itu tertawa terbahak-bahak.  “Kau baru keluar dari rumah sakit jiwa? Cepat pergi, kalau mau bertemu dengannya berdirilah di tengah jalan, biarkan mobil-mobil mewah itu menabrakmu hingga mati, setelah itu, kau akan bertemu dengannya, tapi bukan di surga melainkan di neraka!”
Aku tersinggung mendengar kata-kata itu. Meski aku tak tahu pasti tapi aku pernah mendengar bahwa kau juga punya neraka, tempat terburuk bagi manusia. Sedangkan yang kuingin adalah hidup layak, bahagia dan lepas dari penderitaan ini.
 Jadi kau tak ada di taman? Jika kau ada di sana, berarti kau hanya berpihak pada manusia berpakaian bersih dan berkantong tebal. Lalu apa bedanya kau dengan DPR yang bergaya hidup mewah dengan memakai uang rakyat dan kaum lemah?
Aku tak mau kena pukulan tongkat dari Si Kekar. Meski marah aku tak berani melawan. Tubuhku pasti roboh dalam sekali pukulan. Aku berjalan lagi, menyusuri jalanan ramai, mengukir jejak di atas pedih.
Rasa dahaga mengantarku pergi ke emper bagunan besar yang tak berkursi dan berkamar. Di halamannya ada air kran yang dapat kuminum beberapa teguk. Lumayan untuk membasahi ladang tandus ditenggorokanku. Setelah selesai minum, kubasuh mukaku dengan air tersebut.
“Kakak sedang berwudhu? Ini bukan tempat wanita, Kak. Kamar mandi wanita di ujung!”
Aku menoleh mendengar kata-kata itu. Kudapati seorang laki-laki kecil yang tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas dengan senyuman. “Aku sedang mencari air untuk ...”
Belum sempat kuteruskan kata-kataku dia berkata, “Kakak hebat, kakak tak melupakan salat.”
Aku ternganga mendengar kata-kata itu. Salat? Ayah dan ibuku juga pernah salat tapi, sebelum sempat mengajariku, mereka pergi meninggalkanku sendiri terombang-ambing di dalam sepi. Anak kecil itu berlari, beberapa saat masih kulihat, setelah itu menghilang diantara hiruk-pikuk jalanan. Kembali pikirku melayang pada bayangmu. Aku sudah lelah. Baiknya kau tunjukkan saja dirimu secara nyata di depanku, lalu membantuku lepas dari jerat duka yang melilitku sejak dulu. Dengan begitu, aku tahu bahwa kau peduli dan ada untukku.
Rasa penat ini meninabobokanku. Tak perlu waktu lama untuk terpejam. Sejurus kemudian aku terseret kedunia maya. Tubuhku melayang-layang di atas tempat yang indah. di sisiku terdapat  pelangi warna-warni  yang dihuni oleh bidadari-bidadari cantik. Mungkin salah satunya adalah Nawang Wulan seperti yang didongengkan ibuku dulu. Mataku terbuka karena alunan merdu dari puncak menara. Aku sering mendengarnya, tapi tak tahu apa artinya. Yang jelas suara itu berbeda dengan alunan musik dangdut yang digandrungi masyarakat. Dari jauh kulihat beberapa orang mendatangi tempat ini. Bergegas aku bangun. Aku tak mau kena maki lagi. Aku harus pergi sebelum mereka memukuli. Beberapa orang menolehku saat berlari. Tanpa sengaja, kulihat anak kecil tadi berada dalam rombongan itu. Hatiku menarik kesimpulan bahwa anak laki-laki tadilah yang melaporkan pada mereka tentang keberadaanku di sini. Tak kecil, tak besar, sama saja. Tidak berperikemanusiaan. Titik!
Itulah pengalamanku siang tadi. Aku tetap tak melihatmu di mana-mana. Jangan-jangan kau fatamorgana. Tidak ada. Tidak nyata. Aku berusaha menepis kegundahan ini. Jika di siang hari tidak ada, masih ada malam hari. Ya, malam ini aku mencari bukti.
Kucari tempat terindah di malam ini. Hampir tak ada yang istimewa. Hanya gelap. Bahkan selarut ini. Aku takut tiba-tiba pagi menjemput. Aku hanya punya waktu beberapa jam untuk meniti malam.
Tibalah aku di tempat yang ramai dikunjungi orang. Di luar bangunan terpampang besar tulisan dengan huruf kapital. Aku tak begitu pandai mengeja aksara. Butuh waktu lama untuk mengetahui itu tempat apa. Setelah beberapa menit berhasil kubaca tulisan itu “DISKOTIK”
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Bagaimana mungkin aku bisa masuk. Mereka yang berada di dalam berpakaian indah, sedangkan aku ... ah, aku tak mau ditertawakan lagi. Mungkin kau pun tidak ada di sana. Kubalikkan tubuh ini.
“Tunggu!” tiba-tiba kudengar suara keras dari belakangku. Aku berlari ketakutan. orang itu mengejarku.
“Tolong, aku berjanji tidak akan ke tempat ini lagi.” kataku sambil meronta ketika orang itu berhasil menangkapku.
“Siapa yang akan menangkapmu, kulihat kau memandangi tempat ini dari tadi, apa kau tertarik?” katanya.
“Apa Tuan akan membawaku masuk ke dalam?” tanyaku tak percaya.
“Tentu saja, bahkan aku akan memberimu pakaian yang indah dan perhiasan yang mahal, mari ikut denganku.”
Dengan senang hati kuikuti orang itu. Harapan untuk menemukanmu di tempat ini semakin menyala. Aku didandaninya dengan pakaian indah. Seumur hidup, baru kali ini aku memakai gaun seelok yang aku pakai malam ini. Inikah keindahan sejati? Rasanya aku benar-benar menemui surga.
Selesai berdandan, aku melihat tubuhku dicermin. Betapa cantiknya bayangan tubuh dalam kaca itu. Aku tak menyangka akan secantik ini. Mungkin bedak yang tadi dipoleskan di pipiku yang membuat cantik. Selama ini aku hanya berbedak dengan debu-debu jalanan yang kotor. Kecantikanku yang sebenarnya tertutupi oleh semua itu.
“Sekarang, kau telah selesai berdandan, kau sangat cantik.” kata orang yang tadi mendandaniku. “Sekarang, temui dia?” dia melanjutkan perkataannya.
“Siapa dia? tanyaku dalam hati. Apa mungkin “dia” yang dimaksudkan adalah kau? Dengan bersemangat aku menemuinya. Saat aku keluar beberapa mata memandangku. Tatapan mata yang aneh. Mereka merayapi tubuhku dengan mata-mata liar. Aku risih  dipandangi seperti itu. Tapi aku harus berani menghadapi tatapan mereka agar aku bertemu denganmu.
“Hai, saya di sini!” seorang laki-laki tua berkepala botak melambaikan tangan. Aku menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa, hanya aku. Apa mungkin dia memanggilku?
“Ya, kamu!” katanya lagi.
Aku mendekat. Apa mungkin itu kau? Hatiku bertanya-tanya. Berbagai macam perasaan aneh bercampur menjadi satu. Takut, gelisah, dan tak percaya. Di sela-sela jari tangannya terselip sebatang rokok. Sesekali dia mengepulkan asap dari hidung dan mulutnya. Jijik rasanya aku melihat caranya merokok. Botol minuman keras terserak di lantai dan meja. Dia menarik lenganku dan memaksaku duduk di dekatnya. Aku menepis. Tidak mungkin aku berada di dekat orang macam dia. Mulutnya bau alkohol. Semeter berdiri di depannya saja sudah membuatku ingin muntah. Dia terus menarikku. Aku meronta dan dengan mudah kudorong dia hingga jatuh ke lantai. Tak sulit aku melakukannya karena dia dalam keadaan mabuk.
Kubawa tubuh ini berlari dari tempat terkutuk itu. Aku yakin kau tak ada di situ. Tempat yang kukira surga itu ternyata dihuni manusia-manusia berhati iblis. Tak peduli aku dicaci maki mereka. Aku terus berlari, berlari, dan berlari hingga tiba di tempat yang tadi aku singgahi. Tempat aku bertemu dengan laki-laki kecil yang menurutku penghianat. Kuminum lagi beberapa teguk air dari keran yang sama. Tiba-tiba kudengar suara lembut dari belakngku.
“Kakak salat malam disini? Subhanallah, benar-benar wanita yang solehah.”
Aku menoleh. Laki-laki yang tadi kutemui berdiri dengan senyum melengkung bulan sabit.
“Siapa kau?” tanyaku pelan.
“Aku Yusuf, nama Kakak siapa?”
“Mayang” aku menjawab pendek.
“Kakak sedang berwudhu?”
“Tidak, aku ingin minum.”
“Malam-malam begini Kakak minum di sini? Apa yang Kakak lakukan hingga di malam yang dingin ini begitu kehausan?”
“Aku sedang mencari.”
“Mencari siapa?” laki-laki kecil yang mengaku bernama Yusuf itu bertanya heran.
“Mencari pemilik surga dan pemberi kehidupan, aku ingin menemuinya dan meminta padanya agar lepas dari kehidupan jalanan. Apa kau tahu dimana dia?”
Yusuf kecil tersenyum. “Kakak ingin bertemu dengannya?” tanyanya. Aku mengangguk mengiyakannya.
“Ikut denganku, Kak!” Yusuf mengajakku memasuki bangunan itu. “Menghadaplah ke kiblat, lalu tumpahkan segala kesedihan Kakak padanya. Adukan segala kegundahan Kakak.”
Aku mengikuti semua sarannya. Sambil menangis kutumpahkan semua keluh kesah ini padamu seakan-akan kau ada di dekatku. Setelah puas, aku tertidur di dalam bangunan itu.
Keesokan harinya, aku dibangunkan oleh suara burung yang bercericit. Sang fajar menyibak kabut tipis dengan pancaran emasnya yang hangat.
“Kakak sudah bangun? Mari kita salat subuh, Kak!” Lagi-lagi suara Yusuf. Sulit sekali tubuh ini berdiri. Pengalaman semalam membuatku lelah.
“Salat subuh? Bagaimana aku melakukannya? Kenapa aku harus melakukannya?” tanyaku bertubi-tubi.
“Kakak ingin bertemu Dia?” Yusuf balik bertanya.
“Iya, apa itu semacam ritual agar aku bisa bertemu dengannya?”
Yusuf tersenyum simpul. “Itu kewajiban kita, Kakak seorang muslim bukan?”
“Orang tuaku bilang kami sekeluarga beragama islam, tapi aku tak tahu apa-apa.”
“Kalau begitu, ucapkan shahadat, Kak!”
Aku semakin tak mengerti kata-kata anak kecil ini. Salat, sahadat, apa itu? Aku mencoba menirukan kalimat yang ia bacakan. Sulit memang. Kata Yusuf orang yang beragama islam harus bersahadat dulu. Setelah itu, dia mengajariku tentang berwudhu dan salat.
Entah apa yang terjadi. Sejak saat itu hatiku tenang. Gelisah yang dulu menghantui diri sedikit demi sedikit menghilang. Apalagi ketika dia melantunkan ayat-ayat suci dari kitab yang dia bawa. Dia pernah bilang padaku bahwa namanya Al Quran. Hari demi hari aku semakin dekat dengan Yusuf.
Tapi aku masih penasaran. Aku belum juga bertemu denganmu. Aku belum pernah melihat wajahmu. Apalagi main ke surgamu. Begitu sulitnya kau untuk ditemui. Suatu hari ketika aku berdua dengan malaikat kecil penolongku, aku bertanya, “Yusuf, kau bilang kau akan mempertemukanku dengan dia, tapi mana? Apa dia masih belum mau bertemu denganku?”
Lagi-lagi Yusuf tersenyum. “Kak, kau sudah bertemu dengannya, tapi  tak menyadarinya.”
Aku tersentak, “Dimana aku bertemu dengannya? Aku tidak merasa bertemu dengannya.” kataku.
Yusuf kecil meraih tanganku, perlahan-lahan dia meletakkan tanganku yang ia pegang ke dadaku dan berkata, “Dia ada di sini, Kak, dihatimu.”
“Apa?” aku bertambah heran.
“Kakak selalu dekat dengannya, jika Kakak rajin salat, mengaji, dan menjalankan segala perintahnya serta menjauhi larangannya.”
“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, Yusuf.”
“Dia itu zat yang maha suci. Kita tak dapat melihatnya, tapi yakinlah dia itu ada. Dia yang kan menolong kita keluar dari kesusahan, dia yang akan mengabulkan semua doa kita.”
Aku menangis mendengar ucapan Yusuf. Bagaikan terkena siraman air hujan. Hatiku yang gersang terbasahi oleh kata-kata Yusuf yang telah menyelamatkanku. Betapa bodohnya aku selama ini. Aku mencarimu kemana-mana padahal kau begitu dekat.
Terima kasih kau telah mengirimkan malaikat kecil padaku untuk menemukanmu. Jagalah hatiku agar aku tak pernah berpaling darimu. Tuntunlah aku agar tak menjadi manusia yang sesat. Terima kasih karna kau telah memberikan hidayah-Mu padaku. Terjawab sudah kerinduanku selama ini.











Tidak ada komentar:

Posting Komentar