Selasa, 01 Desember 2015

ISYAN .......
Karanganyar, 1 November 2015



Malam ini begitu senyap. Hanya sesekali suara jangkerik bersahutan dari kejauhan. Selain itu kegelapan menelan suasana malam. Bahkan tetes hujan sisa derai tadi sore tak mampu meramaikan malam yang mencekam. Pungguk pun tak terdengar berdendang. Padahal jauh di atas  sana, sesekali bulan menampakkan wajahnya sebelum ditelan awan. Mungkin dia jenuh menatapnya, mungkin karena keputusasaannya yang hanya mampu melihat tanpa bisa meraih sinarnya. Seperti pepatah yang selalu menyimbolkannya.
Hatinya adalah malam. Dia begitu ingin sunyi, hingga tak ada seorang pun yang mampu menerka isi hatinya. Dia membiarkan air mata menderai seperti rintik hujan yang terkadang jatuh satu-satu. Tak peduli dengan angin yang menghempaskan basah ke wajahnya. Biarlah airmata dan air hujan menjadi saksi perasaan yang selama ini ia simpan.
Dia menatap langit malam. Begitu redup. Entahlah, dia sendiri tak bisa mengendalikan hasrat yang selama ini menguasai dirinya. Berkali-kali dia berpaling dari kenyataan. Tapi, kiranya Tuhan tak menghendakinya. Saat ini, dia hanya menunggu jawaban Tuhan atas semua yang Dia anugerahkan kepadanya. Karena sampai kapanpun dia tak akan mengerti dengan suasana hati yang indah dan terluka tiap kali dia menyentuh senyuman yang selama ini kerap muncul dimimpinya.
Ah! Perasaan itu begitu cepat berganti dan berpaling. Awalnya bahagia, kemudian menjadi duka yang berkepanjangan. Perasaan seperti apa yang dia rasakan. Sosok yang selama ini menjadi nomor satu di hatinya dengan mudah menerbangkan mimpinya, setelah itu menghempaskannya di bebatuan. Seperti terajam, seperti tertancap di bebatuan cadas, seperti tenggelam di lautan lumpur, seperti luka ini yang dia berikan berulang-ulang.
Awalnya pelan, lalu keras mengimbangi suara hujan yang mulai menderas. Tak kan ada yang mendengar. Semua makhluk sudah terlelap.
Isyan, perempuan terluka itu kerap menangis dalam kelam. Hatinya tak mampu membendung perasaan yang tak mampu diungkapkannya pada siapa pun. Hanya malam, kepada bintang, kepada bulan, kepada suasana malamlah satu-satunya harapan bahwa ada yang mengerti kesedihannya.
Sebenarnya tak ada yang menyakitinya. Hanya perasaannyalah yang membelenggu kebahagiannya. Walaupun terkadang dia merasa bahagia, tapi dia sadar bahwa bahagia itulah yang nantinya menancapkan luka yang berkali-kali lipat.
Isyan tak mampu menepis semua itu. Karena walapun bahagia itu hanya sesaat dia sangat menikmatinya. Dan dia, juga sangat menikmati luka yang mengucurkan darah ke seluruh hidupnya. Hanya itu, karena dia tidak punya pilihan lain, selain menerima kenyataan bahwa dia mencintainya. Dan sebaliknya. Meski .....
“Ahshan ... maafkan aku telah mengingkari janjiku,” kata Isyan waktu itu.
“Maksudmu?” Ahshan balik bertanya.
“Saat itu aku pernah mengatakan padamu bahwa meskipun aku sangat menginginkanmu, aku tak akan pernah merebutmu darinya, tapi saat ini aku ....”
“Jangan teruskan ucapanmu karena apa yang kau rasakan adalah perasaanku saat ini. Kita tak dapat memungkirinya, kita telah terbelenggu oleh rasa itu. Aku tahu aku tak akan bisa melepasmu, dan juga melepasnya”
“Maksudmu?”
“Maafkan aku .... banyak hal yang membuatku tak bisa melepaskannya, banyak hal yang harus aku selesaikan dengannya”
“Apa aku tidak punya kesempatan?”
“Aku selalu berdoa agar kesempatan itu ada untuk kita”
Isyan terdiam. Mati-matian dia menahan sesak mendengar kata-kata itu. Apakah ini adalah akhir dari semuanya? Ah tidak! Aku tak akan mengakirinya. Begitulah kata hati Isyan yang berubah menjadi egois.
Saat itu Isyan merasa dunianya telah hancur. Bumi tempatnya berpijak seakan ingin menelannya ke tanah dan menguburnya hidup-hidup. Biarlah. Bahkan keinginan untuk hidup pun sangat tipis. Tak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan hari itu. Setelah itu, Isyan menangis dan memacu kecepatan motornya dengan kecepatan yang tak biasa. Sebenarnya dia ingin menjatuhkan motornya ke selokan, ke sungai, ke arah tiang listrik. Biarlah tubuhnya hancur beserta harapan dan mimpinya yang hancur berkeping-keping.  Dan kepingan itu terbang bersama angin. Terserak, bercampur dengan pasir yang mustahil bisa dipungut kembali.
Ah.... lagi-lagi Tuhan tak berpihak padanya. Bebatuan kecil yang menggelincirkan roda motornya itu tak mampu menggoreskan luka di tubuh Isyan, meski banyak goresan di sana sini pada motor kesayangannya. Isyan terduduk di dekat motornya. Tak seharusnya dia menjadikannya korban kemarahannya. Seasaat kemmudian Isyan berdiri kemudian terduduk lagi, menangis lagi. Sungguh inilah hari terburuk Isyan. Dan Isyan berusaha melupakannya kemudian bersikap seperti biasa ..... dia harus bisa, bangkit, dan mencoba melupakannya.
“Ahshan, satu-satunya jalan adalah melupakanmu, membuangmu jauh-jauh dari hidupku .... selamanya.” Dan Isyan sudah bertekad.
Isyan memang bisa melakukannya. Tapi hanya beberapa hari... lalu senyum itu melunturkan semua amarahnya, kekecewaannya, dan tatapan matanya kembali menghadirkan bunga yang bersemi setelah layu beberapa saat. Isyan menyesal, itulah kelemahannya. Dia dikalahkan oleh cinta yang begitu besar dia rasakan. Tak ada yang mampu mengira betapa besar perasaan itu melekat di hatinya. Hanya karena Ahshan, laki-laki yang hanya mencintainya, tapi menolak untuk memilikinya.
Ahshan tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk merayu Isyan agar kembali padanya. Karena tanpa diminta, Isyan akan berjalan ke arahnya. Bukan dirinya, tapi perasaannya yang selalu menuntun agar Isyan tak berada jauh dari pemuda kesayangannya.
“Isyan, maafkan aku, aku merasa akhir-akhir ini kau menjauhiku.” Ahshan berkata
“Ah, Tidak!” Isyan berkilah
“Katakan, apa aku melakukan kesalahan?” Ahshan kembali bertanya,
Kali ini Isyan tak bisa menutupinya, dengan lantang dia berteriak, “ Aku tak mengerti dengan dirimu, kau bilang kau mencintaiku, tapi kau tak pernah menginginkanku, perasaan seperti apa itu? Kau sungguh mempermainkanku, aku benci padamu, dan jangan harap aku mempercayaimu lagi.”
“Mengertilah, aku tak bermaksud seperti itu, aku ....”
“Sudahlah, tolong jauhi aku....”
Isyan pergi. Dengan luka yang teramat dalam. Dengan cinta yang berubah menjadi kebencian, kekecewaan, dan kehancuran. Tapi hanya sesaat. Beberapa detik kemudian, perasaan cinta itu muncul kembali.
Lalu dengan cara apa lagi Isyan melupakannya. Hatinya telah lelah menahan beban yang begitu berat. Seandainya boleh meminta, ia tak pernah menginginkan perasaan itu. Tak pernah. Tak akan pernah. Tapi, entahlah...Tuhan punya rahasia besar di balik kisah ini. Saat ini Isyan hanya bisa berharap agar Tuhan segera melepaskan perasaan yang tak semestinya ini.
Untuk apa, jika hanya menimbulkan luka bagi semua orang, jika hanya menimbulkan kecemburuan saat Ahshan bersamanya. Walapun sebenarnya ia lebih berhak atas Ahshan. Tidak! Dia tak pernah punya hak. “Karena cinta itu bukan untuknya, tapi untukku! “Kepercayaan itulah yang sudah menguasai Isyan.
Isyan membiarkan rasa cinta itu menuntunnya ke dalam gelap. Isyan sudah merelakan seandainya cinta itu membuatnya menjadi orang yang egois, jahat, dan penuh dendam. Tapi sampai kapanpun dia tak pernah rela jika dia kehilangan cinta itu. Dan tak akan rela dia memilikinya. Tapi, dia hanya bisa mengatakan “Tak rela” karena sesungguhnya Isyan tengah berkhayal. Dan tak mau melihat kenyataan bahwa Ahshan bukanlah miliknya, dan tak pernah mau memilikinya.
Ya! Mungkin dengan malam Isyan bisa melampiaskan kepedihannya. Seperti saat ini. Saat ia kesal dengannya, saat ia merindukannya, saat ia merasakan cemburu yang amat sangat, saat ia membenci semua keadaan yang melukai hatinya. Melukai jiwanya. Tak akan pernah terobati, karena dia tak akan pernah tergantikan. Meski kenyataannya, Isyan telah tercampakkan.



Jumat, 09 Oktober 2015

HIDAYAH



Karanganyar, 2011
HIDAYAH

Jalanan ini penuh duri. Begitu sulit untukku menapaki. Aku tak mampu menahan siksa yang maha pedih.
***
Itulah rintih hatiku. Aku kenal kau sejak kecil. Tapi hanya sekedar mengenalmu. Tak tahu siapa kau dan aku tak mau tahu. Terlalu dini untukku menerjemahkan siapa kau. Pernah terlintas dibenakku waktu itu, kau seperti hujan, memunculkan pelangi dan membasahi bumi. Mungkin kau juga seperti awan, terkadang putih, lalu biru, dan menjingga. Entahlah ....
Sungguh aku tidak bermaksud menghilangkanmu dari hatiku. Aku teringat cerita ayah bahwa kaulah yang berkuasa. Meski aku tidak tahu apa maksud kata-kata itu, tapi aku mengiyakannya, karena rasa takut dan patuhku pada dia. Aku pun teringat kata ibu, bahwa kaulah yang paling mengasihi. Seperti kasih ibukah? Ah...... masih saja aku tak tahu!
Jika bisa kuungkap, ingin kumaki dunia. Menyesal rasanya hidup beralaskan bumi jika hanya begini. Dia yang membesarkanku, dia yang menjadi latarku kala mendung, lalu hujan, dan terang kembali. Dia hanya menyewakan tempat dan tak mampu menjadikanku bangsawan yang enak-enakan duduk di kursi empuk, dan tidur di ranjang busa. Dia tak menyediakan selimut jika dingin menelusup daging. Tak juga menyediakan makanan jika lapar mengoyak perut dan mengaburkan pandangan. Sungguh terlalu. Dunia hanya berpihak pada mereka yang kaya. Lalu, dimana kau?
Jalanan yang tiap hari kutapaki terasa sunyi. Hanya satu dua manusia melintas sekilas, lalu pergi dan tak nampak lagi. Malam sudah larut rupanya. Aku tak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan rasa gundah dan gelisah. Gerimis yang semula jatuh satu-satu kian menderas. Mampu menyapu debu yang mampir di wajahku. Mampu menghapus lelah saat melangkah.
Kuhabiskan malam dengan berjalan. Sesekali kusapa bintang yang memudar dengan rintihan. Mataku jeli mencari-cari meski aku tak tahu arah yang pasti. Aku masih ragu dengan keberadaanmu. Bagaimana mungkin wanita-wanita berjubah dan laki-laki penghuni masjid itu mengatakan bahwa kau dekat. Dari dulu aku tak menemukanmu, bahkan dalam mimpi sekalipun. Cerita khayalan. Mungkin saja mereka mengarang cerita. Atau mereka hanya mencari teman. Aku masih ingat dengan berita di koran yang kujadikan  alas tidurku yang bertuliskan bahwa teroris-teroris yang menghancurkan kota, mengebom beberapa tempat adalah manusia-manusia seperti mereka. Aku perlu bukti untuk mempercayai mereka. Kau pemurah, kau pengasih, kau penyayang, kau pemberi rejeki, kau yang menurunkan hujan, kau adalah segalanya. Mana? Apa itu ada pengecualiannya? Aku benar-benar ingin bertemu denganmu untuk melampiaskan penderitaan dan keluh kesah ini.
Siang tadi aku sudah mencarimu untuk kesekian kali. Katanya kau punya surga dan surga identik dengan keindahan. Sepanjang yang aku lihat, tempat-tempat indah yang pernah kutemui adalah taman yang penuh bunga berwarna-warni. Aku menyukainya. Kucoba melangkahkan kaki ke taman kota dekat alun-alun yang sesak dipenuhi manusia-manusia berkantong tebal. Aku duduk di bawah pohon rindang agar sang raja siang tak terlalu menyengat kulitku. Menunggu hingga jemu, menanti tapi aku tak kau temui. Kulihat burung kecil mengerling. Entah apa maksudnya. Dalam imajinasi, aku mendengar dia mencemoohkanku, menertawakanku. Katanya,” Perempuan bodoh, pulang sajalah, kau takkan menemui apa-apa.”
Jelas aku panas mendengar cemoohan itu, aku berteriak,” Hai, kau binatang yang bodoh, ayah dan ibuku bilang dia itu ada, mereka juga bilang bahwa dia ada. Aku boleh meragukan mereka, tapi tidak untuk orang tuaku.” Perlahan-lahan air mataku meleleh, deras, lalu membanjiri mukaku yang kusut. Rasa putus asa mulai membinasakan semangatku untuk bertemu dengamu. Mungkin kau tak menyukai tempat ini karena bunga-bunga belum sempurna bermekaran.
Kulangkahkan kaki menuju taman yang lebih banyak bunganya. Di sana banyak kupu-kupu, mungkin kau menjelma menjadi salah satu dari mereka. Sebersit asa menumbuhkan semangatku lagi.
“Berhenti!” suara keras terdengar ditelingaku. Seorang pemuda kekar menyeretku keluar sambil membawa tongkat. Tubuhku gemetar.
“Apa salahku, Pak?” tanyaku ketakutan.
“Apa salahmu? Dasar perempuan tak tahu diri, ini bukan tempatmu. Kau lihat sekelilingmu, mereka berpakaian bagus, bersih, dan tidak kumal seperti kau!”
“Maaf Pak, aku ingin berada di surga agar bisa bertemu dengannya.”
Lelaki kekar itu tertawa terbahak-bahak.  “Kau baru keluar dari rumah sakit jiwa? Cepat pergi, kalau mau bertemu dengannya berdirilah di tengah jalan, biarkan mobil-mobil mewah itu menabrakmu hingga mati, setelah itu, kau akan bertemu dengannya, tapi bukan di surga melainkan di neraka!”
Aku tersinggung mendengar kata-kata itu. Meski aku tak tahu pasti tapi aku pernah mendengar bahwa kau juga punya neraka, tempat terburuk bagi manusia. Sedangkan yang kuingin adalah hidup layak, bahagia dan lepas dari penderitaan ini.
 Jadi kau tak ada di taman? Jika kau ada di sana, berarti kau hanya berpihak pada manusia berpakaian bersih dan berkantong tebal. Lalu apa bedanya kau dengan DPR yang bergaya hidup mewah dengan memakai uang rakyat dan kaum lemah?
Aku tak mau kena pukulan tongkat dari Si Kekar. Meski marah aku tak berani melawan. Tubuhku pasti roboh dalam sekali pukulan. Aku berjalan lagi, menyusuri jalanan ramai, mengukir jejak di atas pedih.
Rasa dahaga mengantarku pergi ke emper bagunan besar yang tak berkursi dan berkamar. Di halamannya ada air kran yang dapat kuminum beberapa teguk. Lumayan untuk membasahi ladang tandus ditenggorokanku. Setelah selesai minum, kubasuh mukaku dengan air tersebut.
“Kakak sedang berwudhu? Ini bukan tempat wanita, Kak. Kamar mandi wanita di ujung!”
Aku menoleh mendengar kata-kata itu. Kudapati seorang laki-laki kecil yang tersenyum ramah kepadaku. Aku pun membalas dengan senyuman. “Aku sedang mencari air untuk ...”
Belum sempat kuteruskan kata-kataku dia berkata, “Kakak hebat, kakak tak melupakan salat.”
Aku ternganga mendengar kata-kata itu. Salat? Ayah dan ibuku juga pernah salat tapi, sebelum sempat mengajariku, mereka pergi meninggalkanku sendiri terombang-ambing di dalam sepi. Anak kecil itu berlari, beberapa saat masih kulihat, setelah itu menghilang diantara hiruk-pikuk jalanan. Kembali pikirku melayang pada bayangmu. Aku sudah lelah. Baiknya kau tunjukkan saja dirimu secara nyata di depanku, lalu membantuku lepas dari jerat duka yang melilitku sejak dulu. Dengan begitu, aku tahu bahwa kau peduli dan ada untukku.
Rasa penat ini meninabobokanku. Tak perlu waktu lama untuk terpejam. Sejurus kemudian aku terseret kedunia maya. Tubuhku melayang-layang di atas tempat yang indah. di sisiku terdapat  pelangi warna-warni  yang dihuni oleh bidadari-bidadari cantik. Mungkin salah satunya adalah Nawang Wulan seperti yang didongengkan ibuku dulu. Mataku terbuka karena alunan merdu dari puncak menara. Aku sering mendengarnya, tapi tak tahu apa artinya. Yang jelas suara itu berbeda dengan alunan musik dangdut yang digandrungi masyarakat. Dari jauh kulihat beberapa orang mendatangi tempat ini. Bergegas aku bangun. Aku tak mau kena maki lagi. Aku harus pergi sebelum mereka memukuli. Beberapa orang menolehku saat berlari. Tanpa sengaja, kulihat anak kecil tadi berada dalam rombongan itu. Hatiku menarik kesimpulan bahwa anak laki-laki tadilah yang melaporkan pada mereka tentang keberadaanku di sini. Tak kecil, tak besar, sama saja. Tidak berperikemanusiaan. Titik!
Itulah pengalamanku siang tadi. Aku tetap tak melihatmu di mana-mana. Jangan-jangan kau fatamorgana. Tidak ada. Tidak nyata. Aku berusaha menepis kegundahan ini. Jika di siang hari tidak ada, masih ada malam hari. Ya, malam ini aku mencari bukti.
Kucari tempat terindah di malam ini. Hampir tak ada yang istimewa. Hanya gelap. Bahkan selarut ini. Aku takut tiba-tiba pagi menjemput. Aku hanya punya waktu beberapa jam untuk meniti malam.
Tibalah aku di tempat yang ramai dikunjungi orang. Di luar bangunan terpampang besar tulisan dengan huruf kapital. Aku tak begitu pandai mengeja aksara. Butuh waktu lama untuk mengetahui itu tempat apa. Setelah beberapa menit berhasil kubaca tulisan itu “DISKOTIK”
Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Bagaimana mungkin aku bisa masuk. Mereka yang berada di dalam berpakaian indah, sedangkan aku ... ah, aku tak mau ditertawakan lagi. Mungkin kau pun tidak ada di sana. Kubalikkan tubuh ini.
“Tunggu!” tiba-tiba kudengar suara keras dari belakangku. Aku berlari ketakutan. orang itu mengejarku.
“Tolong, aku berjanji tidak akan ke tempat ini lagi.” kataku sambil meronta ketika orang itu berhasil menangkapku.
“Siapa yang akan menangkapmu, kulihat kau memandangi tempat ini dari tadi, apa kau tertarik?” katanya.
“Apa Tuan akan membawaku masuk ke dalam?” tanyaku tak percaya.
“Tentu saja, bahkan aku akan memberimu pakaian yang indah dan perhiasan yang mahal, mari ikut denganku.”
Dengan senang hati kuikuti orang itu. Harapan untuk menemukanmu di tempat ini semakin menyala. Aku didandaninya dengan pakaian indah. Seumur hidup, baru kali ini aku memakai gaun seelok yang aku pakai malam ini. Inikah keindahan sejati? Rasanya aku benar-benar menemui surga.
Selesai berdandan, aku melihat tubuhku dicermin. Betapa cantiknya bayangan tubuh dalam kaca itu. Aku tak menyangka akan secantik ini. Mungkin bedak yang tadi dipoleskan di pipiku yang membuat cantik. Selama ini aku hanya berbedak dengan debu-debu jalanan yang kotor. Kecantikanku yang sebenarnya tertutupi oleh semua itu.
“Sekarang, kau telah selesai berdandan, kau sangat cantik.” kata orang yang tadi mendandaniku. “Sekarang, temui dia?” dia melanjutkan perkataannya.
“Siapa dia? tanyaku dalam hati. Apa mungkin “dia” yang dimaksudkan adalah kau? Dengan bersemangat aku menemuinya. Saat aku keluar beberapa mata memandangku. Tatapan mata yang aneh. Mereka merayapi tubuhku dengan mata-mata liar. Aku risih  dipandangi seperti itu. Tapi aku harus berani menghadapi tatapan mereka agar aku bertemu denganmu.
“Hai, saya di sini!” seorang laki-laki tua berkepala botak melambaikan tangan. Aku menoleh ke belakang. Tak ada siapa-siapa, hanya aku. Apa mungkin dia memanggilku?
“Ya, kamu!” katanya lagi.
Aku mendekat. Apa mungkin itu kau? Hatiku bertanya-tanya. Berbagai macam perasaan aneh bercampur menjadi satu. Takut, gelisah, dan tak percaya. Di sela-sela jari tangannya terselip sebatang rokok. Sesekali dia mengepulkan asap dari hidung dan mulutnya. Jijik rasanya aku melihat caranya merokok. Botol minuman keras terserak di lantai dan meja. Dia menarik lenganku dan memaksaku duduk di dekatnya. Aku menepis. Tidak mungkin aku berada di dekat orang macam dia. Mulutnya bau alkohol. Semeter berdiri di depannya saja sudah membuatku ingin muntah. Dia terus menarikku. Aku meronta dan dengan mudah kudorong dia hingga jatuh ke lantai. Tak sulit aku melakukannya karena dia dalam keadaan mabuk.
Kubawa tubuh ini berlari dari tempat terkutuk itu. Aku yakin kau tak ada di situ. Tempat yang kukira surga itu ternyata dihuni manusia-manusia berhati iblis. Tak peduli aku dicaci maki mereka. Aku terus berlari, berlari, dan berlari hingga tiba di tempat yang tadi aku singgahi. Tempat aku bertemu dengan laki-laki kecil yang menurutku penghianat. Kuminum lagi beberapa teguk air dari keran yang sama. Tiba-tiba kudengar suara lembut dari belakngku.
“Kakak salat malam disini? Subhanallah, benar-benar wanita yang solehah.”
Aku menoleh. Laki-laki yang tadi kutemui berdiri dengan senyum melengkung bulan sabit.
“Siapa kau?” tanyaku pelan.
“Aku Yusuf, nama Kakak siapa?”
“Mayang” aku menjawab pendek.
“Kakak sedang berwudhu?”
“Tidak, aku ingin minum.”
“Malam-malam begini Kakak minum di sini? Apa yang Kakak lakukan hingga di malam yang dingin ini begitu kehausan?”
“Aku sedang mencari.”
“Mencari siapa?” laki-laki kecil yang mengaku bernama Yusuf itu bertanya heran.
“Mencari pemilik surga dan pemberi kehidupan, aku ingin menemuinya dan meminta padanya agar lepas dari kehidupan jalanan. Apa kau tahu dimana dia?”
Yusuf kecil tersenyum. “Kakak ingin bertemu dengannya?” tanyanya. Aku mengangguk mengiyakannya.
“Ikut denganku, Kak!” Yusuf mengajakku memasuki bangunan itu. “Menghadaplah ke kiblat, lalu tumpahkan segala kesedihan Kakak padanya. Adukan segala kegundahan Kakak.”
Aku mengikuti semua sarannya. Sambil menangis kutumpahkan semua keluh kesah ini padamu seakan-akan kau ada di dekatku. Setelah puas, aku tertidur di dalam bangunan itu.
Keesokan harinya, aku dibangunkan oleh suara burung yang bercericit. Sang fajar menyibak kabut tipis dengan pancaran emasnya yang hangat.
“Kakak sudah bangun? Mari kita salat subuh, Kak!” Lagi-lagi suara Yusuf. Sulit sekali tubuh ini berdiri. Pengalaman semalam membuatku lelah.
“Salat subuh? Bagaimana aku melakukannya? Kenapa aku harus melakukannya?” tanyaku bertubi-tubi.
“Kakak ingin bertemu Dia?” Yusuf balik bertanya.
“Iya, apa itu semacam ritual agar aku bisa bertemu dengannya?”
Yusuf tersenyum simpul. “Itu kewajiban kita, Kakak seorang muslim bukan?”
“Orang tuaku bilang kami sekeluarga beragama islam, tapi aku tak tahu apa-apa.”
“Kalau begitu, ucapkan shahadat, Kak!”
Aku semakin tak mengerti kata-kata anak kecil ini. Salat, sahadat, apa itu? Aku mencoba menirukan kalimat yang ia bacakan. Sulit memang. Kata Yusuf orang yang beragama islam harus bersahadat dulu. Setelah itu, dia mengajariku tentang berwudhu dan salat.
Entah apa yang terjadi. Sejak saat itu hatiku tenang. Gelisah yang dulu menghantui diri sedikit demi sedikit menghilang. Apalagi ketika dia melantunkan ayat-ayat suci dari kitab yang dia bawa. Dia pernah bilang padaku bahwa namanya Al Quran. Hari demi hari aku semakin dekat dengan Yusuf.
Tapi aku masih penasaran. Aku belum juga bertemu denganmu. Aku belum pernah melihat wajahmu. Apalagi main ke surgamu. Begitu sulitnya kau untuk ditemui. Suatu hari ketika aku berdua dengan malaikat kecil penolongku, aku bertanya, “Yusuf, kau bilang kau akan mempertemukanku dengan dia, tapi mana? Apa dia masih belum mau bertemu denganku?”
Lagi-lagi Yusuf tersenyum. “Kak, kau sudah bertemu dengannya, tapi  tak menyadarinya.”
Aku tersentak, “Dimana aku bertemu dengannya? Aku tidak merasa bertemu dengannya.” kataku.
Yusuf kecil meraih tanganku, perlahan-lahan dia meletakkan tanganku yang ia pegang ke dadaku dan berkata, “Dia ada di sini, Kak, dihatimu.”
“Apa?” aku bertambah heran.
“Kakak selalu dekat dengannya, jika Kakak rajin salat, mengaji, dan menjalankan segala perintahnya serta menjauhi larangannya.”
“Aku tidak mengerti apa yang kamu maksudkan, Yusuf.”
“Dia itu zat yang maha suci. Kita tak dapat melihatnya, tapi yakinlah dia itu ada. Dia yang kan menolong kita keluar dari kesusahan, dia yang akan mengabulkan semua doa kita.”
Aku menangis mendengar ucapan Yusuf. Bagaikan terkena siraman air hujan. Hatiku yang gersang terbasahi oleh kata-kata Yusuf yang telah menyelamatkanku. Betapa bodohnya aku selama ini. Aku mencarimu kemana-mana padahal kau begitu dekat.
Terima kasih kau telah mengirimkan malaikat kecil padaku untuk menemukanmu. Jagalah hatiku agar aku tak pernah berpaling darimu. Tuntunlah aku agar tak menjadi manusia yang sesat. Terima kasih karna kau telah memberikan hidayah-Mu padaku. Terjawab sudah kerinduanku selama ini.











Kamis, 08 Oktober 2015

PIJAR



PIJAR
Hujan mereda. Entahlah, mungkin lelah mengguyur bumi. Mungkin juga lelah mendengar manusia berkeluh kesah. Mereka kesulitan memasak karena kayu bakar basah. Belum lagi jemuran yang beberapa hari belum kering. Ah, dasar manusia. Diberi hujan, minta panas, katanya tidak bisa melakukan aktifitas dengan bebas. Mereka malas keluar rumah jika jalanan becek. Apalagi air hujan sampai membasahi kulit mereka. Diberi panas, mengomel, katanya rerumputan kering, merumput pun jadi susah. Harga sapi anjlok karena tak ada sapi yang berisi. Ckckckc.... siapa yang mau disalahkan? Tuhan atau manusia yang cerewet?
Aku memilih menelusuri jalanan yang kering. Meski jauh dua kali lipat dari jalanan yang biasa aku lewati, kupaksakan kaki ini melangkah pelan. Angin masih basah. Jaket tebal yang kupakai tak mampu menghalau hawa dingin yang menelusup hingga ke tulang. Kukenakan kerudung jaketku. Lumayan, leherku sedikit hangat. Mereka menyapaku. Punggung-punggung yang ringkih itu menggendong hasil keringat mereka. Tak peduli meski hujan menyapu tubuh-tubuh tak kenal lelah itu. Tak peduli lumpur-lumpur pekat yang mereka pijak. “Ah, tidak apa, yang penting anak istriku bisa  makan.” Itulah yang ada dibenak mereka. Para petani yang tak kenal musim. Aku salut dengan kegigihan mereka. Tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pegawai kantoran yang kerjanya hanya duduk dan menatap komputer. Lihatlah, perut mereka membuncit. Mungkin mereka jarang berolahraga, atau bisa jadi mereka terlalu banyak makan uang rakyat. Biar saja, itu urusan mereka dengan Tuhannya.
“Uh....” aku terkejut. Tubuhku oleng ke kiri. Sesuatu yang kuat menabrakku saat aku asyik melamun sambil berjalan. Beruntung aku tak jatuh. Tak bisa kubayangkan jika tubuh ini tak seimbang. Pasti lumpur itu menjadi alas tubuh.
“Maaf, kau tak apa? suara halus mengagetkanku. Oh, ternyata orang itu yang menabrakku. Aku tersenyum. Dengan halus pula aku katakan, “mboten mas.” setelah kuucapkan kata-kata itu aku berlalu. Sempat kulihat wajah orang itu. Sepertinya, dia bukan penduduk desa. Segera kulupakan kejadian ini. Kembali kaki menapaki jalanan desa yang sedikit menanjak. Lelah, tapi aku harus sampai rumah tepat waktu. Jika tidak, nenek pasti mengomel. Begitulah orang kalau sudah lanjut usia. Tapi, aku sangat menyayanginya, karena dia satu-satunya keluargaku. Orang tuaku sudah meninggal sejak aku berusia dua tahun.
“Assalamu’alaikum.” sapaku.
“Wa’alaikum salam” nenek menjawab salamku. Wajahnya cemberut. Aku melirik jam. Pantas saja, aku telat setengah jam. Di meja belum ada makanan. Buru-buru aku masuk dapur. Aku mulai memasak.
“Kau dari mana?” nenek bertanya. “Aku mengambil jalan di ujung desa, Nek, makanya aku terlambat pulang.” aku berusaha menjelaskan. “Oh,” jawabnya pendek.
***
Senja berlalu. Malam mulai mengintip dunia. Entah kenapa, aku ingin keluar. Aku rindu pada kunang-kunang yang terbang mengitari pepadian. Aku rindu bintang-bintang yang berkedip di langit malam. Sudah lama aku tak melihat mereka. Galau yang selama ini kurasakan menepis keinginan untuk berkawan dengan malam. Aku tertekan dengan keinginan nenek yang mengharapkan aku agar segera menikah. Jangankan menikah, pacaran saja belum pernah. Ah, nenek ini ada-ada saja. “Kau sudah berumur, Rum. Tak malukah kau pada teman-temanmu?” katanya suatu hari. Aku melengos dan pura tidak mendengar.
Bukannya tidak laku. Aku hanya belum menemukan yang pas. Buktinya, sudah banyak pemuda-pemuda desa yang menanyakanku. Mereka bilang, aku adalah gadis tercantik di desa ini. Rambutku indah, sangat cocok menjadi model iklan shampo seperti di TV. Aku menyadari itu. Tak mudah aku merawatnya. Tiap pagi aku mencari embun di rerumputan. Nenek bilang, embun bisa menyuburkan rambut. Jika sore tiba, aku selalu menumbuk lidah buaya, setelah itu kuoleskan airnya merata di kepala. Inilah hasilnya, rambutku hitam dan lebat. Itu rahasia keindahan rambut yang diwariskan nenek moyangku. Kalian patut mempraktekkannya.
“Aduh ...” aku memekik. Lagi-lagi tubuhku ditubruk seseorang. Lebih keras dari tadi sore. Kali ini aku tak dapat menjaga keseimbangan. Tubuh langsingku ambruk ke tanah. Aku marah. Bajuku yang bersih kotor terkena lumpur.
“Maaf ...” katanya sambil meraih tanganku. Buru-buru aku menepisnya. Aku terkejut. Wajah yang kutemui sore tadi. Dia pun terlihat kaget. “Kau lagi, kau lagi.” kataku marah, “Apa kau diciptakan untuk menabrakku?” lanjutku sedikit keras.
“Maaf, aku tidak sengaja.” jawabnya. Aku tergetar mendengar suaranya. Begitu halus. Dialah pemilik suara paling merdu yang aku kenal. Sesaat aku terlena dengan pesonanya.
“Biar kubantu berdiri.” Aku sadar, aku masih dalam posisi duduk. Segera kuangkat tubuh ini. “Kau terluka?” dia bertanya sambil memandangiku. Aku tertegun. Dia pemuda yang sangat tampan. “Hai ...” katanya lagi sambil tersenyum. “Kau melihatku?”
Rasa malu menelusup. Aku ceroboh. Kenapa sampai mataku tak ingin lepas dari wajahnya. “Siapa yang melihatmu, kau membuat bajuku kotor.” kataku ketus.
“Biar kubantu membersihkannya”
“Tidak perlu.” Setelah kata-kata itu terucap, aku berlalu. Sempat kudengar dia berteriak, “Aku Pijar, dan kau?”
“Arum” jawabku pendek.
Aku kembali melangkah. Dingin. Titik-titik air jatuh dari dedaunan yang tertiup angin. Entah kenapa hati ini tak karuan. Kesal dan amarah. Tapi, aku tak bisa memungkiri, terselip rasa indah di sudut hati. Entah dari mana datangnya. Malam ini, hasratku terpenuhi. Aku melihat kunang-kunang meski tak nampak bintang yang berpijar di atas sana. Mana mungkin? Langit saja tertutup kabut. Saat ini, benda langit itu pasti tengah terlelap. Biar saja mendung menguasai malam.
Aku gelisah, sungguh pemuda itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Hatiku bertanya-tanya. Siapa Pijar itu? Apa dia ditakdirkan menjadi pijar hatiku yang kelam seperti kelamnya langit saat ini. Atau, dia hanya ditakdirkan sebagai pelengkap imajinasiku sebelu aku terlelap. Entahlah. Rasanya aku ingin Pijar itu menabrakku lagi seperti sore dan malam ini. Pijar, betapa aku ingin tahu siapa dia. Sesaat, kubiarkan bayang-banyangnya menguasai khayal dan bunga tidurku.
***
Pagi ini cuaca cerah. Kurapikan buku yang terserak di meja. Aku harus bersiap-siap ke balai desa. Ada urusan yang harus kuselesaikan pagi ini juga. Menjadi perangkat desa tidaklah mudah. Tiap hari ada saja yang harus di kerjakan. Tapi aku tak pernah mengeluh. Ini sudah menjadi komitmenku. Hari ini semua perangkat desa hadir. Desa kami kedatangan tamu dari Jakarta yang akan memberikan penyuluhan tentang tata cara membangun desa. Sayang kalau momen ini dilewatkan. Jarang-jarang desa kami mendapatkan penyuluhan seperti itu.
Terseok-seok kususuri jalanan yang licin dan berlumpur. Beberapa bagian tubuhku sakit tertabrak Pijar yang mengganggu lelapnya tidurku semalam. Sampai di kantor desa suasana masih sepi. Hanya satu dua orang yang datang. Di sudut, Pak Lurah sedang membenahi gambar Presiden yang agak miring ke kanan. Pelan-pelan kusapa beliau.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
“Mbak Arum sudah datang?” sapa Pak Lurah sambil tersenyum. Kuanggukkan kepala dan kubalas dengan senyuman pula. Meja dan kursi masih berantakan. Sedikit mengeluh juga. Aku tak cukup kuat mengangkat dan merapikannya seorang diri. Untung saja tak lama kemudian datang Yusuf sahabatku yang juga menjadi perangkat desa. “Kau wanita perkasa, tidak ada yang mengangkat benda-benda seperti ini kecuali kau!” katanya meledek. Kuacungkan jempol, tanda setuju dengan pendapatnya.
Waktu cepat sekali berlalu. Tamu undangan dan warga desa telah berkumpul di balai desa. Harap-harap cemas aku melihat ke luar. Sudah setengah jam kami menunggu seseorang yang akan memberikan penyuluhan. Jadi atau tidak jadi. Kasihan warga yang sudah menunggu.
Lega. Dari jauh kulihat mobil sedan warna merah mendekat ke balai desa. Inilah yang kami tunggu. Pemateri telah datang. Satu per satu mereka turun dari mobil. Deg! Jantungku berhenti berdetak. Dia ... Buyar segala persiapanku. Otakku telah terkontaminasi dengan senyumnya. Bagaimana tidak, senyum manis dan wajah tampan yang kutemui semalam muncul lagi di depanku. “Oh ... jadi Pijarku itu tamu yang datang dari Jakarta?” bisikku. Sesaat aku tertegun. Apa? aku mengatakan itu Pijarku. Ah, aku harus segera bangun dari mimpi.
Kulihat dia pun terkejut. Dunia begitu sempit. Hingga acara selesai aku belum bisa menjernihkan otakku. Apa yang terjadi denganku? Lunglai kutinggalkan balai desa setelah semua selesai. Tak ada satu pun yang menyangkut di otakku kecuali senyumnya.
“Arum ...! aku menoleh. Suara yang aku rindukan semalam. Ya, dia berdiri di belakangku. Salah tingkah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Ya.” jawabku pendek.
“Jarang sekali ada gadis muda sepertimu terjun di tengah-tengah masyarakat, apalagi menjadi perangkat desa.”
“Ah, aku senang bisa mengabdikan diri untuk desa tercintaku. Kau datang dari Jakarta?”
“Benar, rencananya, aku menginap di sini kira-kira sebulan. Kau tidak apa-apa?”
Aku mengerutkan dahi. “Maksudmu?” tanyaku heran.
“Tabrakan tadi malam itu.”
Kami sama-sama tertawa. Itulah awal keakraban kami. Dia memberikan nomor HP-nya. Dengan senang hati aku pun memberikan nomor HP-ku. Sejak itu, kami selalu berhubungan. Kami bertambah akrab, apalagi dia sering membantu pekerjaanku di kantor desa. Aku semakin menyukainya. Ternyata Pijar tidak hanya menjadi cahaya di hatiku. Dalam sekejap, namanya pun sering di sebut-sebut orang karena kepandaian dan kepintaran bergaulnya. Pijar, kau membuatku selalu berpijar.
Suatu siang, ketika aku pulang dari kantor desa, dia mengikutiku dari belakang. Mobil sedan miliknya berhenti tepat di sampingku. “Arum, mari kuantar pulang.” katanya sambil membukakan pintu mobil. “Tidak usah, Mas, aku biasa jalan kaki.” jawabku sambil berhenti. Pijar menutup pintunya kembali. Dia berjalan menjajariku. “Kalau begitu, aku ikut denganmu.” katanya lagi. “Mobilmu?” tanyaku. “Tidak ada maling kan di tempat ini?” dia balas bertanya. Dalam hati aku berkata, “Kau malingnya, kau yang mencuri hatiku.” Astagfirullah! Aku berkhayal lagi ternyata.
Aku tidak langsung ke rumah. kuajak Pijar jalan-jalan melihat suasana pedesaan yang hijau. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahnya. Benar-benar dia seorang pangeran tampan yang turun dari kayangan.
“Kau tidak bosan tinggal di desaku?” kataku memecah keheningan.
“Tidak, aku suka pemandangannya. Indah, seindah wajahmu.” Wajahku memerah mendengar pujiannya. Mudah-mudahan Pijar sungguh-sungguh dengan ucapannya. Angin bertiup kencang. Dinginnya membuatku bergidik. Tak kusangka, dia melepas jaket yang dia kenakan. Dengan hati-hati, Pijar menyelimutkan jaket itu ke punggungku. Aku melihatnya. “Tidak perlu, kau akan kedinginan.” kataku. “Aku kan laki-laki.” balasnya.
Benar-benar hatiku kacau. Perasaan aneh mulai menyerang hebat. Aku seperti tak kuasa mengatakan sesuatu. Entah kenapa tiba-tiba lidahku kelu. Sepanjang jalan kami membisu. “Apa dia sedang memikirkanku, seperti aku memikirkannya?” tanyaku dalam hati. Aku tak berani menebak-nebak.
Hujan kembali turun. Tubuh kami basah kuyup. Akhirnya kami putuskan untuk mencari tempat berteduh. Warung di pinggir desa adalah tempat paling nyaman bagi kami. Untuk menghilangkan rasa dingin, kami memesan  teh hangat
“Maaf, Mbak, gulanya tidak cukup untuk berdua. Semua sudah habis. Bagaimana?” tanya pemilik warung.
Aku menatap Pijar. Tak tega rasanya membiarkan dia minum tanpa gula. Kemudian aku berkata pada pemilik warung, “Bu, berikan teh yang manis sama Mas yang ini, saya sudah biasa minum pahitan, diet ....”
Pijar tertawa mendengar penuturanku. Dia berkata, “Tidak perlu, Bu, aku tidak suka terlalu manis.”
“Apanya yang terlalu manis, dimana-mana teh tanpa gula pasti agak pahit.” ujarku.
“Ah, tidak! Aku sudah manis, kalau ditambah gula pasti tambah manis lagi.” Katanya sambil tertawa. Aku dan pemilik warung tertawa juga.
“Tidak lucu, tahu!”
Lumayan. Air teh membuat kami merasa hangat. Benar juga kata Pijar. Meski teh ini tanpa gula, jika diminum sambil melihat wajahnya, pasti semua terasa manis. Dasar! Kenapa aku jadi berhiperbola?
Hujan mulai reda. Kami meneruskan perjalanan. Hari ini hari terindah yang pernah kurasakan. Aku mulai sadar. Aku jatuh cinta. Mudah-mudahan, laki-laki yang aku cintai adalah laki-laki yang tepat.
Hari demi hari aku merasa mendapatkan signal yang baik dari Pijar. Dia menunjukkan kasih sayangnya padaku. Mengantarku pulang kerja, bahkan tak jarang dia datang ke rumahku. Nenek pun kelihatannya suka padanya. Apalagi, Pijar sering membawakan oleh-oleh untuk Nenek. Dunia sempurna sudah!
Suatu hari Pijar datang kerumah. Dengan senang hati kupersilahkan dia masuk. Kebetulan saat itu Nenek tidak ada di rumah.
“Silahkan masuk, Mas.” kataku menyambut kedatangannya.
“Kok sepi, Rum, Nenek kemana?” dia bertanya.
“O, Nenek ke pasar, katanya kinangnya habis.” jawabku.
“Ada perlu apa, Mas Pijar datang kemari?”
“Main saja, kau keberatan?”
“Tentu saja tidak!”
Kami mulai terlibat obrolan yang mengasyikkan. Dia menceritakan bagaimana kehidupan di kota. Apa saja yang ia lakukan di kota, dia ceritakan padaku. Hari ini, aku tak ingin waktu berlalu.
Angin bertiup kecang. Rambutku yang sengaja kugerai menutup sebagian wajahku. Reflek dia menyingkapnya dari wajahku. Saat itu tubuhku gemetar. Kulihat di jari manis Pijar terselip sebuah cincin. Pijar sadar aku mengamatinya. Buru-buru dia melepaskan tangannya dari wajahku.
“Kau ...?” aku tak melanjutkan pertanyaanku.
Pijar tertunduk. Wajahnya merah. Kulihat matanya berair. Seketika tubuhku lemas. Aku tahu apa yang terjadi. Dia, Pijarku tak sendiri lagi.
“Kau sudah bertunangan?” tanyaku lesu. Mati-matian aku menahan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Aku kecewa.
Pijar menatapku. Aku tertunduk. Sesaat kemudian, Pijar memelukku. Dia menangis tersedu. “Arum, maafkan aku, aku tidak hanya sudah bertunangan, tapi aku sudah menikah. Tapi, Arum, aku tak bisa memungkiri, kalau aku ...”
“Cukup, Pijar, aku tak ingin kau mengatakannya, jangan menyakiti siapapun.” Kataku ikut menangis.
“Kau harus tahu, Arum, aku merasakan hal yang sama yang pernah aku rasakan saat aku berjumpa dengan istriku dulu denganmu.” lanjutnya.
“Pijar, kenapa kau tak mengatakannya padaku sebelumnya, dengan begitu aku tidak terlalu berharap padamu.”
Aku berlari ke kamar. Pijar terdiam. Kurebahkan tubuh ini di kasur. Sedih, kecewa, dan berbagai perasaan menyesal merasuki hatiku. Aku sama sekali tak menyangka, akan jatuh cinta pada seorang pemuda yang telah beristri. Ini menyakitkan.
Sejak kejadian ituaku aku mulai menjauhinya. Tapi, seberapa kuat aku berusaha melupakannya, wajahnya selalu muncul membayangi hatiku. Keinginan untuk bertemu itu selalu menggebu. Berkali-kali Pijar mendatangi rumahku. Nenek yang tidak tahu permasalahanku bingung melihat kami saling diam.
Malas rasanya ke kantor desa lagi. Untuk apa? Di sana pasti ada Pijar. Tapi, kupaksakan diri untuk berangkat juga. Hari ini hari terakhir dia tinggal di desaku. Jujur, aku sangat sedih. Tak ingin berpisah dengannya. Kadang-kadang muncul niat jahatku untuk merebut Pijar dari istrinya. Bukankah, Pijar menyukaiku juga. Andai saja aku datang lebih awal. Andai saja Pijar tidak buru-buru menikah. Lelah hati berandai.
“Mbak, tunggu ...!” seseorang dari belakang memanggilku. Aku menoleh. Sosok wanita cantik yang tidak kukenal menghampiriku.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku.
“Mbak, jalan ke kantor desa mana?”
“Kebetulan aku juga mau ke tempat itu, bareng saja kalau begitu.”
Perempuan ini sangat cantik. Kulitnya bersih. Wajahnya bercahaya. Dilihat dari sikapnya, dia adalah sosok yang lemah lembut. Kalau dibandingkan denganku, jauh sekali. Aku tidak bertanya lagi. Kubiarkan dia memilih-milih jalan yang layak untuk di lewati. Jalanan berlumpur sisa hujan tadi malam. Sampai di tempat tujuan, suasana masih sepi.
“Mbak dari mana?” tanyaku sambil mempersilahkan duduk di ruang kantor.
“Dari Jakarta?” jawabnya pendek.
“Oh, Mbak ini salah satu anggota kelompok yang datang dari Jakarta itu?”
Perempuan itu tersenyum mendengar pertanyaannku. Dia tidak menjawab. Seperti dugaanku. Dia sangat ramah. Dalam sekejap kami menjadi kawan baik. Usianya pun sebaya denganku. Cuma selisih beberapa bulan saja. Sesaat aku melupakan sakit hatiku terhadap Pijar.
Tak lama, perangkat desa mulai berdatangan. Hadir juga Pijar dan kawan-kawannya. Hari ini, aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya. Biar saja aku tak tahu malu. Tapi aku tak bisa memendam perasaan ini. Aku pun rela jika Pijar menjadi suamiku asalkan dia menceraikan istrinya. Aku tidak takut jika nantinya aku dicap sebagai perusak rumah tangga orang. Aku tidak akan menyesal. Demi Pijar.
Aku berdiri ingin menghampirinya. Disaat yang sama perempuan yang baru saja aku kenal juga berdiri. Dengan mata berbinar dia mengucapkan sesuatu.
“Ayah ...!!!”
Aku tersentak. Kutoleh dia. Dengan wajah senang dan penuh kerinduan dia menghampiri Pijar dan memeluknya. Pijar tidak mengelak dan membiarkan perempuan itu memeluknya. Dalam pelukan itu, Pijar menatapku. Aku tak mampu menahan tangis. Diam-diam aku pergi ke kamar mandi dan melampiaskan kesedihan ini seorang diri.
Ternyata perempuan itu istri Pijar. Tiba-tiba rasa malu mulai menyerang. Tidak pantas aku punya keinginan untuk merebut kekasih seseorang yang begitu tulus dan mencintai. Tidak heran jika Pijar jatuh cinta pada perempuan itu sebelum menjadi istrinya. Ya, dia perempuan yang anggun. Mana mungin aku menyakiti hati sesama perempuan. Apalagi dia sosok yang halus. Betapa kejam dan berdosanya aku.
Aku meninggalkan kantor desa. Tak mampu aku melihat kemesraan Pijar dengan istrinya. Hujan kembali turun. Sengaja aku berjalan tanpa payung. Dengan begitu tak ada yang melihatku menangis saat itu. Biarlah air mata ini bercampur dengan hujan, lalu, menetes ke bumi dan tak berbekas lagi. Biar saja. Tiba-tiba aku teringat Nenek. Aku ingin pulang dan menumpahkan segala penderitaan ini padanya. Aku harus berjuang lagi dari awal. Ya, aku harus berjuang memadamkan Pijar di hatiku.
***