Kamis, 08 Oktober 2015

PIJAR



PIJAR
Hujan mereda. Entahlah, mungkin lelah mengguyur bumi. Mungkin juga lelah mendengar manusia berkeluh kesah. Mereka kesulitan memasak karena kayu bakar basah. Belum lagi jemuran yang beberapa hari belum kering. Ah, dasar manusia. Diberi hujan, minta panas, katanya tidak bisa melakukan aktifitas dengan bebas. Mereka malas keluar rumah jika jalanan becek. Apalagi air hujan sampai membasahi kulit mereka. Diberi panas, mengomel, katanya rerumputan kering, merumput pun jadi susah. Harga sapi anjlok karena tak ada sapi yang berisi. Ckckckc.... siapa yang mau disalahkan? Tuhan atau manusia yang cerewet?
Aku memilih menelusuri jalanan yang kering. Meski jauh dua kali lipat dari jalanan yang biasa aku lewati, kupaksakan kaki ini melangkah pelan. Angin masih basah. Jaket tebal yang kupakai tak mampu menghalau hawa dingin yang menelusup hingga ke tulang. Kukenakan kerudung jaketku. Lumayan, leherku sedikit hangat. Mereka menyapaku. Punggung-punggung yang ringkih itu menggendong hasil keringat mereka. Tak peduli meski hujan menyapu tubuh-tubuh tak kenal lelah itu. Tak peduli lumpur-lumpur pekat yang mereka pijak. “Ah, tidak apa, yang penting anak istriku bisa  makan.” Itulah yang ada dibenak mereka. Para petani yang tak kenal musim. Aku salut dengan kegigihan mereka. Tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pegawai kantoran yang kerjanya hanya duduk dan menatap komputer. Lihatlah, perut mereka membuncit. Mungkin mereka jarang berolahraga, atau bisa jadi mereka terlalu banyak makan uang rakyat. Biar saja, itu urusan mereka dengan Tuhannya.
“Uh....” aku terkejut. Tubuhku oleng ke kiri. Sesuatu yang kuat menabrakku saat aku asyik melamun sambil berjalan. Beruntung aku tak jatuh. Tak bisa kubayangkan jika tubuh ini tak seimbang. Pasti lumpur itu menjadi alas tubuh.
“Maaf, kau tak apa? suara halus mengagetkanku. Oh, ternyata orang itu yang menabrakku. Aku tersenyum. Dengan halus pula aku katakan, “mboten mas.” setelah kuucapkan kata-kata itu aku berlalu. Sempat kulihat wajah orang itu. Sepertinya, dia bukan penduduk desa. Segera kulupakan kejadian ini. Kembali kaki menapaki jalanan desa yang sedikit menanjak. Lelah, tapi aku harus sampai rumah tepat waktu. Jika tidak, nenek pasti mengomel. Begitulah orang kalau sudah lanjut usia. Tapi, aku sangat menyayanginya, karena dia satu-satunya keluargaku. Orang tuaku sudah meninggal sejak aku berusia dua tahun.
“Assalamu’alaikum.” sapaku.
“Wa’alaikum salam” nenek menjawab salamku. Wajahnya cemberut. Aku melirik jam. Pantas saja, aku telat setengah jam. Di meja belum ada makanan. Buru-buru aku masuk dapur. Aku mulai memasak.
“Kau dari mana?” nenek bertanya. “Aku mengambil jalan di ujung desa, Nek, makanya aku terlambat pulang.” aku berusaha menjelaskan. “Oh,” jawabnya pendek.
***
Senja berlalu. Malam mulai mengintip dunia. Entah kenapa, aku ingin keluar. Aku rindu pada kunang-kunang yang terbang mengitari pepadian. Aku rindu bintang-bintang yang berkedip di langit malam. Sudah lama aku tak melihat mereka. Galau yang selama ini kurasakan menepis keinginan untuk berkawan dengan malam. Aku tertekan dengan keinginan nenek yang mengharapkan aku agar segera menikah. Jangankan menikah, pacaran saja belum pernah. Ah, nenek ini ada-ada saja. “Kau sudah berumur, Rum. Tak malukah kau pada teman-temanmu?” katanya suatu hari. Aku melengos dan pura tidak mendengar.
Bukannya tidak laku. Aku hanya belum menemukan yang pas. Buktinya, sudah banyak pemuda-pemuda desa yang menanyakanku. Mereka bilang, aku adalah gadis tercantik di desa ini. Rambutku indah, sangat cocok menjadi model iklan shampo seperti di TV. Aku menyadari itu. Tak mudah aku merawatnya. Tiap pagi aku mencari embun di rerumputan. Nenek bilang, embun bisa menyuburkan rambut. Jika sore tiba, aku selalu menumbuk lidah buaya, setelah itu kuoleskan airnya merata di kepala. Inilah hasilnya, rambutku hitam dan lebat. Itu rahasia keindahan rambut yang diwariskan nenek moyangku. Kalian patut mempraktekkannya.
“Aduh ...” aku memekik. Lagi-lagi tubuhku ditubruk seseorang. Lebih keras dari tadi sore. Kali ini aku tak dapat menjaga keseimbangan. Tubuh langsingku ambruk ke tanah. Aku marah. Bajuku yang bersih kotor terkena lumpur.
“Maaf ...” katanya sambil meraih tanganku. Buru-buru aku menepisnya. Aku terkejut. Wajah yang kutemui sore tadi. Dia pun terlihat kaget. “Kau lagi, kau lagi.” kataku marah, “Apa kau diciptakan untuk menabrakku?” lanjutku sedikit keras.
“Maaf, aku tidak sengaja.” jawabnya. Aku tergetar mendengar suaranya. Begitu halus. Dialah pemilik suara paling merdu yang aku kenal. Sesaat aku terlena dengan pesonanya.
“Biar kubantu berdiri.” Aku sadar, aku masih dalam posisi duduk. Segera kuangkat tubuh ini. “Kau terluka?” dia bertanya sambil memandangiku. Aku tertegun. Dia pemuda yang sangat tampan. “Hai ...” katanya lagi sambil tersenyum. “Kau melihatku?”
Rasa malu menelusup. Aku ceroboh. Kenapa sampai mataku tak ingin lepas dari wajahnya. “Siapa yang melihatmu, kau membuat bajuku kotor.” kataku ketus.
“Biar kubantu membersihkannya”
“Tidak perlu.” Setelah kata-kata itu terucap, aku berlalu. Sempat kudengar dia berteriak, “Aku Pijar, dan kau?”
“Arum” jawabku pendek.
Aku kembali melangkah. Dingin. Titik-titik air jatuh dari dedaunan yang tertiup angin. Entah kenapa hati ini tak karuan. Kesal dan amarah. Tapi, aku tak bisa memungkiri, terselip rasa indah di sudut hati. Entah dari mana datangnya. Malam ini, hasratku terpenuhi. Aku melihat kunang-kunang meski tak nampak bintang yang berpijar di atas sana. Mana mungkin? Langit saja tertutup kabut. Saat ini, benda langit itu pasti tengah terlelap. Biar saja mendung menguasai malam.
Aku gelisah, sungguh pemuda itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Hatiku bertanya-tanya. Siapa Pijar itu? Apa dia ditakdirkan menjadi pijar hatiku yang kelam seperti kelamnya langit saat ini. Atau, dia hanya ditakdirkan sebagai pelengkap imajinasiku sebelu aku terlelap. Entahlah. Rasanya aku ingin Pijar itu menabrakku lagi seperti sore dan malam ini. Pijar, betapa aku ingin tahu siapa dia. Sesaat, kubiarkan bayang-banyangnya menguasai khayal dan bunga tidurku.
***
Pagi ini cuaca cerah. Kurapikan buku yang terserak di meja. Aku harus bersiap-siap ke balai desa. Ada urusan yang harus kuselesaikan pagi ini juga. Menjadi perangkat desa tidaklah mudah. Tiap hari ada saja yang harus di kerjakan. Tapi aku tak pernah mengeluh. Ini sudah menjadi komitmenku. Hari ini semua perangkat desa hadir. Desa kami kedatangan tamu dari Jakarta yang akan memberikan penyuluhan tentang tata cara membangun desa. Sayang kalau momen ini dilewatkan. Jarang-jarang desa kami mendapatkan penyuluhan seperti itu.
Terseok-seok kususuri jalanan yang licin dan berlumpur. Beberapa bagian tubuhku sakit tertabrak Pijar yang mengganggu lelapnya tidurku semalam. Sampai di kantor desa suasana masih sepi. Hanya satu dua orang yang datang. Di sudut, Pak Lurah sedang membenahi gambar Presiden yang agak miring ke kanan. Pelan-pelan kusapa beliau.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
“Mbak Arum sudah datang?” sapa Pak Lurah sambil tersenyum. Kuanggukkan kepala dan kubalas dengan senyuman pula. Meja dan kursi masih berantakan. Sedikit mengeluh juga. Aku tak cukup kuat mengangkat dan merapikannya seorang diri. Untung saja tak lama kemudian datang Yusuf sahabatku yang juga menjadi perangkat desa. “Kau wanita perkasa, tidak ada yang mengangkat benda-benda seperti ini kecuali kau!” katanya meledek. Kuacungkan jempol, tanda setuju dengan pendapatnya.
Waktu cepat sekali berlalu. Tamu undangan dan warga desa telah berkumpul di balai desa. Harap-harap cemas aku melihat ke luar. Sudah setengah jam kami menunggu seseorang yang akan memberikan penyuluhan. Jadi atau tidak jadi. Kasihan warga yang sudah menunggu.
Lega. Dari jauh kulihat mobil sedan warna merah mendekat ke balai desa. Inilah yang kami tunggu. Pemateri telah datang. Satu per satu mereka turun dari mobil. Deg! Jantungku berhenti berdetak. Dia ... Buyar segala persiapanku. Otakku telah terkontaminasi dengan senyumnya. Bagaimana tidak, senyum manis dan wajah tampan yang kutemui semalam muncul lagi di depanku. “Oh ... jadi Pijarku itu tamu yang datang dari Jakarta?” bisikku. Sesaat aku tertegun. Apa? aku mengatakan itu Pijarku. Ah, aku harus segera bangun dari mimpi.
Kulihat dia pun terkejut. Dunia begitu sempit. Hingga acara selesai aku belum bisa menjernihkan otakku. Apa yang terjadi denganku? Lunglai kutinggalkan balai desa setelah semua selesai. Tak ada satu pun yang menyangkut di otakku kecuali senyumnya.
“Arum ...! aku menoleh. Suara yang aku rindukan semalam. Ya, dia berdiri di belakangku. Salah tingkah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Ya.” jawabku pendek.
“Jarang sekali ada gadis muda sepertimu terjun di tengah-tengah masyarakat, apalagi menjadi perangkat desa.”
“Ah, aku senang bisa mengabdikan diri untuk desa tercintaku. Kau datang dari Jakarta?”
“Benar, rencananya, aku menginap di sini kira-kira sebulan. Kau tidak apa-apa?”
Aku mengerutkan dahi. “Maksudmu?” tanyaku heran.
“Tabrakan tadi malam itu.”
Kami sama-sama tertawa. Itulah awal keakraban kami. Dia memberikan nomor HP-nya. Dengan senang hati aku pun memberikan nomor HP-ku. Sejak itu, kami selalu berhubungan. Kami bertambah akrab, apalagi dia sering membantu pekerjaanku di kantor desa. Aku semakin menyukainya. Ternyata Pijar tidak hanya menjadi cahaya di hatiku. Dalam sekejap, namanya pun sering di sebut-sebut orang karena kepandaian dan kepintaran bergaulnya. Pijar, kau membuatku selalu berpijar.
Suatu siang, ketika aku pulang dari kantor desa, dia mengikutiku dari belakang. Mobil sedan miliknya berhenti tepat di sampingku. “Arum, mari kuantar pulang.” katanya sambil membukakan pintu mobil. “Tidak usah, Mas, aku biasa jalan kaki.” jawabku sambil berhenti. Pijar menutup pintunya kembali. Dia berjalan menjajariku. “Kalau begitu, aku ikut denganmu.” katanya lagi. “Mobilmu?” tanyaku. “Tidak ada maling kan di tempat ini?” dia balas bertanya. Dalam hati aku berkata, “Kau malingnya, kau yang mencuri hatiku.” Astagfirullah! Aku berkhayal lagi ternyata.
Aku tidak langsung ke rumah. kuajak Pijar jalan-jalan melihat suasana pedesaan yang hijau. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahnya. Benar-benar dia seorang pangeran tampan yang turun dari kayangan.
“Kau tidak bosan tinggal di desaku?” kataku memecah keheningan.
“Tidak, aku suka pemandangannya. Indah, seindah wajahmu.” Wajahku memerah mendengar pujiannya. Mudah-mudahan Pijar sungguh-sungguh dengan ucapannya. Angin bertiup kencang. Dinginnya membuatku bergidik. Tak kusangka, dia melepas jaket yang dia kenakan. Dengan hati-hati, Pijar menyelimutkan jaket itu ke punggungku. Aku melihatnya. “Tidak perlu, kau akan kedinginan.” kataku. “Aku kan laki-laki.” balasnya.
Benar-benar hatiku kacau. Perasaan aneh mulai menyerang hebat. Aku seperti tak kuasa mengatakan sesuatu. Entah kenapa tiba-tiba lidahku kelu. Sepanjang jalan kami membisu. “Apa dia sedang memikirkanku, seperti aku memikirkannya?” tanyaku dalam hati. Aku tak berani menebak-nebak.
Hujan kembali turun. Tubuh kami basah kuyup. Akhirnya kami putuskan untuk mencari tempat berteduh. Warung di pinggir desa adalah tempat paling nyaman bagi kami. Untuk menghilangkan rasa dingin, kami memesan  teh hangat
“Maaf, Mbak, gulanya tidak cukup untuk berdua. Semua sudah habis. Bagaimana?” tanya pemilik warung.
Aku menatap Pijar. Tak tega rasanya membiarkan dia minum tanpa gula. Kemudian aku berkata pada pemilik warung, “Bu, berikan teh yang manis sama Mas yang ini, saya sudah biasa minum pahitan, diet ....”
Pijar tertawa mendengar penuturanku. Dia berkata, “Tidak perlu, Bu, aku tidak suka terlalu manis.”
“Apanya yang terlalu manis, dimana-mana teh tanpa gula pasti agak pahit.” ujarku.
“Ah, tidak! Aku sudah manis, kalau ditambah gula pasti tambah manis lagi.” Katanya sambil tertawa. Aku dan pemilik warung tertawa juga.
“Tidak lucu, tahu!”
Lumayan. Air teh membuat kami merasa hangat. Benar juga kata Pijar. Meski teh ini tanpa gula, jika diminum sambil melihat wajahnya, pasti semua terasa manis. Dasar! Kenapa aku jadi berhiperbola?
Hujan mulai reda. Kami meneruskan perjalanan. Hari ini hari terindah yang pernah kurasakan. Aku mulai sadar. Aku jatuh cinta. Mudah-mudahan, laki-laki yang aku cintai adalah laki-laki yang tepat.
Hari demi hari aku merasa mendapatkan signal yang baik dari Pijar. Dia menunjukkan kasih sayangnya padaku. Mengantarku pulang kerja, bahkan tak jarang dia datang ke rumahku. Nenek pun kelihatannya suka padanya. Apalagi, Pijar sering membawakan oleh-oleh untuk Nenek. Dunia sempurna sudah!
Suatu hari Pijar datang kerumah. Dengan senang hati kupersilahkan dia masuk. Kebetulan saat itu Nenek tidak ada di rumah.
“Silahkan masuk, Mas.” kataku menyambut kedatangannya.
“Kok sepi, Rum, Nenek kemana?” dia bertanya.
“O, Nenek ke pasar, katanya kinangnya habis.” jawabku.
“Ada perlu apa, Mas Pijar datang kemari?”
“Main saja, kau keberatan?”
“Tentu saja tidak!”
Kami mulai terlibat obrolan yang mengasyikkan. Dia menceritakan bagaimana kehidupan di kota. Apa saja yang ia lakukan di kota, dia ceritakan padaku. Hari ini, aku tak ingin waktu berlalu.
Angin bertiup kecang. Rambutku yang sengaja kugerai menutup sebagian wajahku. Reflek dia menyingkapnya dari wajahku. Saat itu tubuhku gemetar. Kulihat di jari manis Pijar terselip sebuah cincin. Pijar sadar aku mengamatinya. Buru-buru dia melepaskan tangannya dari wajahku.
“Kau ...?” aku tak melanjutkan pertanyaanku.
Pijar tertunduk. Wajahnya merah. Kulihat matanya berair. Seketika tubuhku lemas. Aku tahu apa yang terjadi. Dia, Pijarku tak sendiri lagi.
“Kau sudah bertunangan?” tanyaku lesu. Mati-matian aku menahan sesak yang tiba-tiba memenuhi dadaku. Aku kecewa.
Pijar menatapku. Aku tertunduk. Sesaat kemudian, Pijar memelukku. Dia menangis tersedu. “Arum, maafkan aku, aku tidak hanya sudah bertunangan, tapi aku sudah menikah. Tapi, Arum, aku tak bisa memungkiri, kalau aku ...”
“Cukup, Pijar, aku tak ingin kau mengatakannya, jangan menyakiti siapapun.” Kataku ikut menangis.
“Kau harus tahu, Arum, aku merasakan hal yang sama yang pernah aku rasakan saat aku berjumpa dengan istriku dulu denganmu.” lanjutnya.
“Pijar, kenapa kau tak mengatakannya padaku sebelumnya, dengan begitu aku tidak terlalu berharap padamu.”
Aku berlari ke kamar. Pijar terdiam. Kurebahkan tubuh ini di kasur. Sedih, kecewa, dan berbagai perasaan menyesal merasuki hatiku. Aku sama sekali tak menyangka, akan jatuh cinta pada seorang pemuda yang telah beristri. Ini menyakitkan.
Sejak kejadian ituaku aku mulai menjauhinya. Tapi, seberapa kuat aku berusaha melupakannya, wajahnya selalu muncul membayangi hatiku. Keinginan untuk bertemu itu selalu menggebu. Berkali-kali Pijar mendatangi rumahku. Nenek yang tidak tahu permasalahanku bingung melihat kami saling diam.
Malas rasanya ke kantor desa lagi. Untuk apa? Di sana pasti ada Pijar. Tapi, kupaksakan diri untuk berangkat juga. Hari ini hari terakhir dia tinggal di desaku. Jujur, aku sangat sedih. Tak ingin berpisah dengannya. Kadang-kadang muncul niat jahatku untuk merebut Pijar dari istrinya. Bukankah, Pijar menyukaiku juga. Andai saja aku datang lebih awal. Andai saja Pijar tidak buru-buru menikah. Lelah hati berandai.
“Mbak, tunggu ...!” seseorang dari belakang memanggilku. Aku menoleh. Sosok wanita cantik yang tidak kukenal menghampiriku.
“Ada apa, Mbak?” tanyaku.
“Mbak, jalan ke kantor desa mana?”
“Kebetulan aku juga mau ke tempat itu, bareng saja kalau begitu.”
Perempuan ini sangat cantik. Kulitnya bersih. Wajahnya bercahaya. Dilihat dari sikapnya, dia adalah sosok yang lemah lembut. Kalau dibandingkan denganku, jauh sekali. Aku tidak bertanya lagi. Kubiarkan dia memilih-milih jalan yang layak untuk di lewati. Jalanan berlumpur sisa hujan tadi malam. Sampai di tempat tujuan, suasana masih sepi.
“Mbak dari mana?” tanyaku sambil mempersilahkan duduk di ruang kantor.
“Dari Jakarta?” jawabnya pendek.
“Oh, Mbak ini salah satu anggota kelompok yang datang dari Jakarta itu?”
Perempuan itu tersenyum mendengar pertanyaannku. Dia tidak menjawab. Seperti dugaanku. Dia sangat ramah. Dalam sekejap kami menjadi kawan baik. Usianya pun sebaya denganku. Cuma selisih beberapa bulan saja. Sesaat aku melupakan sakit hatiku terhadap Pijar.
Tak lama, perangkat desa mulai berdatangan. Hadir juga Pijar dan kawan-kawannya. Hari ini, aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya. Biar saja aku tak tahu malu. Tapi aku tak bisa memendam perasaan ini. Aku pun rela jika Pijar menjadi suamiku asalkan dia menceraikan istrinya. Aku tidak takut jika nantinya aku dicap sebagai perusak rumah tangga orang. Aku tidak akan menyesal. Demi Pijar.
Aku berdiri ingin menghampirinya. Disaat yang sama perempuan yang baru saja aku kenal juga berdiri. Dengan mata berbinar dia mengucapkan sesuatu.
“Ayah ...!!!”
Aku tersentak. Kutoleh dia. Dengan wajah senang dan penuh kerinduan dia menghampiri Pijar dan memeluknya. Pijar tidak mengelak dan membiarkan perempuan itu memeluknya. Dalam pelukan itu, Pijar menatapku. Aku tak mampu menahan tangis. Diam-diam aku pergi ke kamar mandi dan melampiaskan kesedihan ini seorang diri.
Ternyata perempuan itu istri Pijar. Tiba-tiba rasa malu mulai menyerang. Tidak pantas aku punya keinginan untuk merebut kekasih seseorang yang begitu tulus dan mencintai. Tidak heran jika Pijar jatuh cinta pada perempuan itu sebelum menjadi istrinya. Ya, dia perempuan yang anggun. Mana mungin aku menyakiti hati sesama perempuan. Apalagi dia sosok yang halus. Betapa kejam dan berdosanya aku.
Aku meninggalkan kantor desa. Tak mampu aku melihat kemesraan Pijar dengan istrinya. Hujan kembali turun. Sengaja aku berjalan tanpa payung. Dengan begitu tak ada yang melihatku menangis saat itu. Biarlah air mata ini bercampur dengan hujan, lalu, menetes ke bumi dan tak berbekas lagi. Biar saja. Tiba-tiba aku teringat Nenek. Aku ingin pulang dan menumpahkan segala penderitaan ini padanya. Aku harus berjuang lagi dari awal. Ya, aku harus berjuang memadamkan Pijar di hatiku.
***







Tidak ada komentar:

Posting Komentar