PIJAR
Hujan
mereda. Entahlah, mungkin lelah mengguyur bumi. Mungkin juga lelah mendengar
manusia berkeluh kesah. Mereka kesulitan memasak karena kayu bakar basah. Belum
lagi jemuran yang beberapa hari belum kering. Ah, dasar manusia. Diberi hujan,
minta panas, katanya tidak bisa melakukan aktifitas dengan bebas. Mereka malas
keluar rumah jika jalanan becek. Apalagi air hujan sampai membasahi kulit mereka.
Diberi panas, mengomel, katanya rerumputan kering, merumput pun jadi susah.
Harga sapi anjlok karena tak ada sapi yang berisi. Ckckckc.... siapa yang mau
disalahkan? Tuhan atau manusia yang cerewet?
Aku
memilih menelusuri jalanan yang kering. Meski jauh dua kali lipat dari jalanan
yang biasa aku lewati, kupaksakan kaki ini melangkah pelan. Angin masih basah.
Jaket tebal yang kupakai tak mampu menghalau hawa dingin yang menelusup hingga
ke tulang. Kukenakan kerudung jaketku. Lumayan, leherku sedikit hangat. Mereka
menyapaku. Punggung-punggung yang ringkih itu menggendong hasil keringat
mereka. Tak peduli meski hujan menyapu tubuh-tubuh tak kenal lelah itu. Tak
peduli lumpur-lumpur pekat yang mereka pijak. “Ah, tidak apa, yang penting anak
istriku bisa makan.” Itulah yang ada
dibenak mereka. Para petani yang tak kenal musim. Aku salut dengan kegigihan
mereka. Tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan pegawai kantoran yang
kerjanya hanya duduk dan menatap komputer. Lihatlah, perut mereka membuncit.
Mungkin mereka jarang berolahraga, atau bisa jadi mereka terlalu banyak makan
uang rakyat. Biar saja, itu urusan mereka dengan Tuhannya.
“Uh....”
aku terkejut. Tubuhku oleng ke kiri. Sesuatu yang kuat menabrakku saat aku
asyik melamun sambil berjalan. Beruntung aku tak jatuh. Tak bisa kubayangkan
jika tubuh ini tak seimbang. Pasti lumpur itu menjadi alas tubuh.
“Maaf,
kau tak apa? suara halus mengagetkanku. Oh, ternyata orang itu yang menabrakku.
Aku tersenyum. Dengan halus pula aku katakan, “mboten mas.” setelah kuucapkan kata-kata itu aku berlalu. Sempat
kulihat wajah orang itu. Sepertinya, dia bukan penduduk desa. Segera kulupakan
kejadian ini. Kembali kaki menapaki jalanan desa yang sedikit menanjak. Lelah,
tapi aku harus sampai rumah tepat waktu. Jika tidak, nenek pasti mengomel.
Begitulah orang kalau sudah lanjut usia. Tapi, aku sangat menyayanginya, karena
dia satu-satunya keluargaku. Orang tuaku sudah meninggal sejak aku berusia dua
tahun.
“Assalamu’alaikum.”
sapaku.
“Wa’alaikum
salam” nenek menjawab salamku. Wajahnya cemberut. Aku melirik jam. Pantas saja,
aku telat setengah jam. Di meja belum ada makanan. Buru-buru aku masuk dapur.
Aku mulai memasak.
“Kau
dari mana?” nenek bertanya. “Aku mengambil jalan di ujung desa, Nek, makanya
aku terlambat pulang.” aku berusaha menjelaskan. “Oh,” jawabnya pendek.
***
Senja
berlalu. Malam mulai mengintip dunia. Entah kenapa, aku ingin keluar. Aku rindu
pada kunang-kunang yang terbang mengitari pepadian. Aku rindu bintang-bintang
yang berkedip di langit malam. Sudah lama aku tak melihat mereka. Galau yang
selama ini kurasakan menepis keinginan untuk berkawan dengan malam. Aku
tertekan dengan keinginan nenek yang mengharapkan aku agar segera menikah. Jangankan
menikah, pacaran saja belum pernah. Ah, nenek ini ada-ada saja. “Kau sudah
berumur, Rum. Tak malukah kau pada teman-temanmu?” katanya suatu hari. Aku
melengos dan pura tidak mendengar.
Bukannya
tidak laku. Aku hanya belum menemukan yang pas. Buktinya, sudah banyak
pemuda-pemuda desa yang menanyakanku. Mereka bilang, aku adalah gadis tercantik
di desa ini. Rambutku indah, sangat cocok menjadi model iklan shampo seperti di
TV. Aku menyadari itu. Tak mudah aku merawatnya. Tiap pagi aku mencari embun di
rerumputan. Nenek bilang, embun bisa menyuburkan rambut. Jika sore tiba, aku
selalu menumbuk lidah buaya, setelah itu kuoleskan airnya merata di kepala.
Inilah hasilnya, rambutku hitam dan lebat. Itu rahasia keindahan rambut yang diwariskan
nenek moyangku. Kalian patut mempraktekkannya.
“Aduh
...” aku memekik. Lagi-lagi tubuhku ditubruk seseorang. Lebih keras dari tadi
sore. Kali ini aku tak dapat menjaga keseimbangan. Tubuh langsingku ambruk ke
tanah. Aku marah. Bajuku yang bersih kotor terkena lumpur.
“Maaf
...” katanya sambil meraih tanganku. Buru-buru aku menepisnya. Aku terkejut.
Wajah yang kutemui sore tadi. Dia pun terlihat kaget. “Kau lagi, kau lagi.”
kataku marah, “Apa kau diciptakan untuk menabrakku?” lanjutku sedikit keras.
“Maaf,
aku tidak sengaja.” jawabnya. Aku tergetar mendengar suaranya. Begitu halus. Dialah
pemilik suara paling merdu yang aku kenal. Sesaat aku terlena dengan pesonanya.
“Biar
kubantu berdiri.” Aku sadar, aku masih dalam posisi duduk. Segera kuangkat
tubuh ini. “Kau terluka?” dia bertanya sambil memandangiku. Aku tertegun. Dia
pemuda yang sangat tampan. “Hai ...” katanya lagi sambil tersenyum. “Kau
melihatku?”
Rasa
malu menelusup. Aku ceroboh. Kenapa sampai mataku tak ingin lepas dari
wajahnya. “Siapa yang melihatmu, kau membuat bajuku kotor.” kataku ketus.
“Biar
kubantu membersihkannya”
“Tidak
perlu.” Setelah kata-kata itu terucap, aku berlalu. Sempat kudengar dia
berteriak, “Aku Pijar, dan kau?”
“Arum”
jawabku pendek.
Aku
kembali melangkah. Dingin. Titik-titik air jatuh dari dedaunan yang tertiup
angin. Entah kenapa hati ini tak karuan. Kesal dan amarah. Tapi, aku tak bisa
memungkiri, terselip rasa indah di sudut hati. Entah dari mana datangnya. Malam
ini, hasratku terpenuhi. Aku melihat kunang-kunang meski tak nampak bintang
yang berpijar di atas sana. Mana mungkin? Langit saja tertutup kabut. Saat ini,
benda langit itu pasti tengah terlelap. Biar saja mendung menguasai malam.
Aku
gelisah, sungguh pemuda itu membuatku tak bisa tidur semalaman. Hatiku
bertanya-tanya. Siapa Pijar itu? Apa dia ditakdirkan menjadi pijar hatiku yang
kelam seperti kelamnya langit saat ini. Atau, dia hanya ditakdirkan sebagai
pelengkap imajinasiku sebelu aku terlelap. Entahlah. Rasanya aku ingin Pijar
itu menabrakku lagi seperti sore dan malam ini. Pijar, betapa aku ingin tahu
siapa dia. Sesaat, kubiarkan bayang-banyangnya menguasai khayal dan bunga
tidurku.
***
Pagi
ini cuaca cerah. Kurapikan buku yang terserak di meja. Aku harus bersiap-siap
ke balai desa. Ada urusan yang harus kuselesaikan pagi ini juga. Menjadi
perangkat desa tidaklah mudah. Tiap hari ada saja yang harus di kerjakan. Tapi
aku tak pernah mengeluh. Ini sudah menjadi komitmenku. Hari ini semua perangkat
desa hadir. Desa kami kedatangan tamu dari Jakarta yang akan memberikan
penyuluhan tentang tata cara membangun desa. Sayang kalau momen ini dilewatkan.
Jarang-jarang desa kami mendapatkan penyuluhan seperti itu.
Terseok-seok
kususuri jalanan yang licin dan berlumpur. Beberapa bagian tubuhku sakit
tertabrak Pijar yang mengganggu lelapnya tidurku semalam. Sampai di kantor desa
suasana masih sepi. Hanya satu dua orang yang datang. Di sudut, Pak Lurah
sedang membenahi gambar Presiden yang agak miring ke kanan. Pelan-pelan kusapa
beliau.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum
salam.”
“Mbak
Arum sudah datang?” sapa Pak Lurah sambil tersenyum. Kuanggukkan kepala dan
kubalas dengan senyuman pula. Meja dan kursi masih berantakan. Sedikit mengeluh
juga. Aku tak cukup kuat mengangkat dan merapikannya seorang diri. Untung saja
tak lama kemudian datang Yusuf sahabatku yang juga menjadi perangkat desa. “Kau
wanita perkasa, tidak ada yang mengangkat benda-benda seperti ini kecuali kau!”
katanya meledek. Kuacungkan jempol, tanda setuju dengan pendapatnya.
Waktu
cepat sekali berlalu. Tamu undangan dan warga desa telah berkumpul di balai
desa. Harap-harap cemas aku melihat ke luar. Sudah setengah jam kami menunggu
seseorang yang akan memberikan penyuluhan. Jadi atau tidak jadi. Kasihan warga
yang sudah menunggu.
Lega.
Dari jauh kulihat mobil sedan warna merah mendekat ke balai desa. Inilah yang
kami tunggu. Pemateri telah datang. Satu per satu mereka turun dari mobil. Deg!
Jantungku berhenti berdetak. Dia ... Buyar segala persiapanku. Otakku telah
terkontaminasi dengan senyumnya. Bagaimana tidak, senyum manis dan wajah tampan
yang kutemui semalam muncul lagi di depanku. “Oh ... jadi Pijarku itu tamu yang
datang dari Jakarta?” bisikku. Sesaat aku tertegun. Apa? aku mengatakan itu
Pijarku. Ah, aku harus segera bangun dari mimpi.
Kulihat
dia pun terkejut. Dunia begitu sempit. Hingga acara selesai aku belum bisa
menjernihkan otakku. Apa yang terjadi denganku? Lunglai kutinggalkan balai desa
setelah semua selesai. Tak ada satu pun yang menyangkut di otakku kecuali
senyumnya.
“Arum
...! aku menoleh. Suara yang aku rindukan semalam. Ya, dia berdiri di
belakangku. Salah tingkah. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
“Ya.”
jawabku pendek.
“Jarang
sekali ada gadis muda sepertimu terjun di tengah-tengah masyarakat, apalagi
menjadi perangkat desa.”
“Ah,
aku senang bisa mengabdikan diri untuk desa tercintaku. Kau datang dari
Jakarta?”
“Benar,
rencananya, aku menginap di sini kira-kira sebulan. Kau tidak apa-apa?”
Aku
mengerutkan dahi. “Maksudmu?” tanyaku heran.
“Tabrakan
tadi malam itu.”
Kami
sama-sama tertawa. Itulah awal keakraban kami. Dia memberikan nomor HP-nya.
Dengan senang hati aku pun memberikan nomor HP-ku. Sejak itu, kami selalu
berhubungan. Kami bertambah akrab, apalagi dia sering membantu pekerjaanku di
kantor desa. Aku semakin menyukainya. Ternyata Pijar tidak hanya menjadi cahaya
di hatiku. Dalam sekejap, namanya pun sering di sebut-sebut orang karena
kepandaian dan kepintaran bergaulnya. Pijar, kau membuatku selalu berpijar.
Suatu
siang, ketika aku pulang dari kantor desa, dia mengikutiku dari belakang. Mobil
sedan miliknya berhenti tepat di sampingku. “Arum, mari kuantar pulang.”
katanya sambil membukakan pintu mobil. “Tidak usah, Mas, aku biasa jalan kaki.”
jawabku sambil berhenti. Pijar menutup pintunya kembali. Dia berjalan
menjajariku. “Kalau begitu, aku ikut denganmu.” katanya lagi. “Mobilmu?”
tanyaku. “Tidak ada maling kan di tempat ini?” dia balas bertanya. Dalam hati
aku berkata, “Kau malingnya, kau yang mencuri hatiku.” Astagfirullah! Aku
berkhayal lagi ternyata.
Aku
tidak langsung ke rumah. kuajak Pijar jalan-jalan melihat suasana pedesaan yang
hijau. Berkali-kali aku mencuri pandang ke arahnya. Benar-benar dia seorang
pangeran tampan yang turun dari kayangan.
“Kau
tidak bosan tinggal di desaku?” kataku memecah keheningan.
“Tidak,
aku suka pemandangannya. Indah, seindah wajahmu.” Wajahku memerah mendengar
pujiannya. Mudah-mudahan Pijar sungguh-sungguh dengan ucapannya. Angin bertiup
kencang. Dinginnya membuatku bergidik. Tak kusangka, dia melepas jaket yang dia
kenakan. Dengan hati-hati, Pijar menyelimutkan jaket itu ke punggungku. Aku
melihatnya. “Tidak perlu, kau akan kedinginan.” kataku. “Aku kan laki-laki.”
balasnya.
Benar-benar
hatiku kacau. Perasaan aneh mulai menyerang hebat. Aku seperti tak kuasa
mengatakan sesuatu. Entah kenapa tiba-tiba lidahku kelu. Sepanjang jalan kami
membisu. “Apa dia sedang memikirkanku, seperti aku memikirkannya?” tanyaku
dalam hati. Aku tak berani menebak-nebak.
Hujan
kembali turun. Tubuh kami basah kuyup. Akhirnya kami putuskan untuk mencari
tempat berteduh. Warung di pinggir desa adalah tempat paling nyaman bagi kami.
Untuk menghilangkan rasa dingin, kami memesan
teh hangat
“Maaf,
Mbak, gulanya tidak cukup untuk berdua. Semua sudah habis. Bagaimana?” tanya
pemilik warung.
Aku
menatap Pijar. Tak tega rasanya membiarkan dia minum tanpa gula. Kemudian aku
berkata pada pemilik warung, “Bu, berikan teh yang manis sama Mas yang ini,
saya sudah biasa minum pahitan, diet ....”
Pijar
tertawa mendengar penuturanku. Dia berkata, “Tidak perlu, Bu, aku tidak suka
terlalu manis.”
“Apanya
yang terlalu manis, dimana-mana teh tanpa gula pasti agak pahit.” ujarku.
“Ah,
tidak! Aku sudah manis, kalau ditambah gula pasti tambah manis lagi.” Katanya
sambil tertawa. Aku dan pemilik warung tertawa juga.
“Tidak
lucu, tahu!”
Lumayan.
Air teh membuat kami merasa hangat. Benar juga kata Pijar. Meski teh ini tanpa
gula, jika diminum sambil melihat wajahnya, pasti semua terasa manis. Dasar!
Kenapa aku jadi berhiperbola?
Hujan
mulai reda. Kami meneruskan perjalanan. Hari ini hari terindah yang pernah
kurasakan. Aku mulai sadar. Aku jatuh cinta. Mudah-mudahan, laki-laki yang aku cintai
adalah laki-laki yang tepat.
Hari
demi hari aku merasa mendapatkan signal yang baik dari Pijar. Dia menunjukkan
kasih sayangnya padaku. Mengantarku pulang kerja, bahkan tak jarang dia datang
ke rumahku. Nenek pun kelihatannya suka padanya. Apalagi, Pijar sering
membawakan oleh-oleh untuk Nenek. Dunia sempurna sudah!
Suatu
hari Pijar datang kerumah. Dengan senang hati kupersilahkan dia masuk.
Kebetulan saat itu Nenek tidak ada di rumah.
“Silahkan
masuk, Mas.” kataku menyambut kedatangannya.
“Kok
sepi, Rum, Nenek kemana?” dia bertanya.
“O,
Nenek ke pasar, katanya kinangnya
habis.” jawabku.
“Ada
perlu apa, Mas Pijar datang kemari?”
“Main
saja, kau keberatan?”
“Tentu
saja tidak!”
Kami
mulai terlibat obrolan yang mengasyikkan. Dia menceritakan bagaimana kehidupan
di kota. Apa saja yang ia lakukan di kota, dia ceritakan padaku. Hari ini, aku
tak ingin waktu berlalu.
Angin
bertiup kecang. Rambutku yang sengaja kugerai menutup sebagian wajahku. Reflek
dia menyingkapnya dari wajahku. Saat itu tubuhku gemetar. Kulihat di jari manis
Pijar terselip sebuah cincin. Pijar sadar aku mengamatinya. Buru-buru dia
melepaskan tangannya dari wajahku.
“Kau
...?” aku tak melanjutkan pertanyaanku.
Pijar
tertunduk. Wajahnya merah. Kulihat matanya berair. Seketika tubuhku lemas. Aku
tahu apa yang terjadi. Dia, Pijarku tak sendiri lagi.
“Kau
sudah bertunangan?” tanyaku lesu. Mati-matian aku menahan sesak yang tiba-tiba
memenuhi dadaku. Aku kecewa.
Pijar
menatapku. Aku tertunduk. Sesaat kemudian, Pijar memelukku. Dia menangis tersedu.
“Arum, maafkan aku, aku tidak hanya sudah bertunangan, tapi aku sudah menikah.
Tapi, Arum, aku tak bisa memungkiri, kalau aku ...”
“Cukup,
Pijar, aku tak ingin kau mengatakannya, jangan menyakiti siapapun.” Kataku ikut
menangis.
“Kau
harus tahu, Arum, aku merasakan hal yang sama yang pernah aku rasakan saat aku
berjumpa dengan istriku dulu denganmu.” lanjutnya.
“Pijar,
kenapa kau tak mengatakannya padaku sebelumnya, dengan begitu aku tidak terlalu
berharap padamu.”
Aku
berlari ke kamar. Pijar terdiam. Kurebahkan tubuh ini di kasur. Sedih, kecewa,
dan berbagai perasaan menyesal merasuki hatiku. Aku sama sekali tak menyangka,
akan jatuh cinta pada seorang pemuda yang telah beristri. Ini menyakitkan.
Sejak
kejadian ituaku aku mulai menjauhinya. Tapi, seberapa kuat aku berusaha
melupakannya, wajahnya selalu muncul membayangi hatiku. Keinginan untuk bertemu
itu selalu menggebu. Berkali-kali Pijar mendatangi rumahku. Nenek yang tidak
tahu permasalahanku bingung melihat kami saling diam.
Malas
rasanya ke kantor desa lagi. Untuk apa? Di sana pasti ada Pijar. Tapi,
kupaksakan diri untuk berangkat juga. Hari ini hari terakhir dia tinggal di
desaku. Jujur, aku sangat sedih. Tak ingin berpisah dengannya. Kadang-kadang
muncul niat jahatku untuk merebut Pijar dari istrinya. Bukankah, Pijar
menyukaiku juga. Andai saja aku datang lebih awal. Andai saja Pijar tidak
buru-buru menikah. Lelah hati berandai.
“Mbak,
tunggu ...!” seseorang dari belakang memanggilku. Aku menoleh. Sosok wanita
cantik yang tidak kukenal menghampiriku.
“Ada
apa, Mbak?” tanyaku.
“Mbak,
jalan ke kantor desa mana?”
“Kebetulan
aku juga mau ke tempat itu, bareng
saja kalau begitu.”
Perempuan
ini sangat cantik. Kulitnya bersih. Wajahnya bercahaya. Dilihat dari sikapnya,
dia adalah sosok yang lemah lembut. Kalau dibandingkan denganku, jauh sekali.
Aku tidak bertanya lagi. Kubiarkan dia memilih-milih jalan yang layak untuk di
lewati. Jalanan berlumpur sisa hujan tadi malam. Sampai di tempat tujuan,
suasana masih sepi.
“Mbak
dari mana?” tanyaku sambil mempersilahkan duduk di ruang kantor.
“Dari
Jakarta?” jawabnya pendek.
“Oh,
Mbak ini salah satu anggota kelompok yang datang dari Jakarta itu?”
Perempuan
itu tersenyum mendengar pertanyaannku. Dia tidak menjawab. Seperti dugaanku.
Dia sangat ramah. Dalam sekejap kami menjadi kawan baik. Usianya pun sebaya
denganku. Cuma selisih beberapa bulan saja. Sesaat aku melupakan sakit hatiku
terhadap Pijar.
Tak
lama, perangkat desa mulai berdatangan. Hadir juga Pijar dan kawan-kawannya.
Hari ini, aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya. Biar saja aku tak tahu
malu. Tapi aku tak bisa memendam perasaan ini. Aku pun rela jika Pijar menjadi
suamiku asalkan dia menceraikan istrinya. Aku tidak takut jika nantinya aku
dicap sebagai perusak rumah tangga orang. Aku tidak akan menyesal. Demi Pijar.
Aku
berdiri ingin menghampirinya. Disaat yang sama perempuan yang baru saja aku
kenal juga berdiri. Dengan mata berbinar dia mengucapkan sesuatu.
“Ayah
...!!!”
Aku
tersentak. Kutoleh dia. Dengan wajah senang dan penuh kerinduan dia menghampiri
Pijar dan memeluknya. Pijar tidak mengelak dan membiarkan perempuan itu
memeluknya. Dalam pelukan itu, Pijar menatapku. Aku tak mampu menahan tangis.
Diam-diam aku pergi ke kamar mandi dan melampiaskan kesedihan ini seorang diri.
Ternyata
perempuan itu istri Pijar. Tiba-tiba rasa malu mulai menyerang. Tidak pantas
aku punya keinginan untuk merebut kekasih seseorang yang begitu tulus dan
mencintai. Tidak heran jika Pijar jatuh cinta pada perempuan itu sebelum
menjadi istrinya. Ya, dia perempuan yang anggun. Mana mungin aku menyakiti hati
sesama perempuan. Apalagi dia sosok yang halus. Betapa kejam dan berdosanya
aku.
Aku
meninggalkan kantor desa. Tak mampu aku melihat kemesraan Pijar dengan
istrinya. Hujan kembali turun. Sengaja aku berjalan tanpa payung. Dengan begitu
tak ada yang melihatku menangis saat itu. Biarlah air mata ini bercampur dengan
hujan, lalu, menetes ke bumi dan tak berbekas lagi. Biar saja. Tiba-tiba aku
teringat Nenek. Aku ingin pulang dan menumpahkan segala penderitaan ini padanya.
Aku harus berjuang lagi dari awal. Ya, aku harus berjuang memadamkan Pijar di
hatiku.
***