BATAS TIPIS RINDU DENDAM
Hawa dingin merebak menghembuskan wewangian bunga sore. Awan hitam menghiasi langit pertanda hujan segera
tiba. Sesekali kilat menyambar menorah pesona angker di langit kelam. Kiranya
cuaca hari ini sedang tak bersahabat dengan alam.
Mahira terdiam sembari memainkan jari jemarinya. Mata indahnya
berkaca-kaca menahan beban air mata yang sedari tadi ingin tumpah. Rambutnya
berkibar-kibar dimainkan desah angin. Mukanya semendung suasana sore ini. Di
sampingnya, berdiri Mahisa yang tak kalah muramnya dengan Mahira.
“Maaf!” kata-kata itu sering Mahira dengar dari mulut Mahisa. Dulu
dengan angkuhnya, Mahira mencibir semua perlakuan Mahisa terhadapnya. Perasaan
kecewa dan marah tak mampu tertebus hanya dengan ucapan itu. Mahisa, orang yang
telah membawanya ke dalam kebahagiaan lalu melemparkannya ke jurang duka. Kasih
sayang yang menggunung dan melahirkan harapan ternyata hanya impian belaka.
Harapannya hancur berkeping-keping. Tapi saat ini hatinya lebih hancur lagi.
Ritme hujan mengantarkannya membuka memori tujuh tahun silam. Masa-masa
indah itu terasa seperti baru kemarin. Senyum, perhatian, dan cemburu Mahisa
masih membekas di hati Mahira. Waktu itu, dia merasa menjadi seorang putri yang
selalu dilindungi pangerannya Hari-hari Mahira dihiasi kebahagiaan sebelum
akhirnya direnggut oleh sesuatu yang tidak dia mengerti.
“Mahira, kau tahu aku sangat menyayangimu,” kata Mahisa waktu itu.
“Sangat tahu. Bukankah kau sudah membuktikan selama lima tahun ini.”
sahut Mahira sambil menatap wajah indah kekasihnya itu.
“Bisakah kau hidup tanpaku?” pertanyaan itu membuat Mahira terkejut.
Dengan tatapan tajam dia menatap Mahisa.
“Hisa, apa maksud pertanyaanmu, apakah itu berarti kau akan
meninggalkanku?” tanya Mahira.
“Mahira, aku tidak meninggalkanmu, orang lain boleh memiliki ragaku,
tetapi tidak untuk hatiku.”
Mahira terisak. Dia tak tahu arah pembicaraan Mahisa. Tapi dia merasa
Mahisa akan meninggalkannya. Mahisa menggenggam tangan Mahira. Dia hampir tak
bisa berkata-kata. Tubuhnya lemas kemudian melabuhkannya ke bahu orang yang
sangat dikasihinya.
“Ini berat, sangat berat. Mahira, kau tahu di luar sana ada kebahagiaan
untukmu, kita tak bisa bersatu, meski kita saling menyayangi, Tapi banyak
perbedaan antara kita. Umur kita terpaut jauh, pekerjaan kita bertolak
belakang, lalu ….,”
“Lalu apalagi, aku tak menganggap itu semua sebagai perbedaan, apa yang
terjadi Mahisa, apa aku tak pantas untukmu?” tanya Mahira memotong pembicaraan
Mahisa.
“Tidak sayang, aku, aku … keadaan memaksaku untuk menikah dengan
perempuan lain dan aku harus melakukannya, aku terpaksa … aku ….maafkan aku,
Hira.” kata Mahisa. Mahira tidak tahu bagaimana perasaan kekasihnya waktu itu.
Dia hanya melihat wajah Mahisa yang menahan kesedihan yang amat sangat.
Setelah kejadian itu, Mahira lebih sering mengurung diri di kamar. Dalam
hatinya, dia bertanya-tanya. Apa alasan Mahisa melakukan itu padanya. Hatinya benar-benar hancur, apalagi selang
beberapa minggu setelah kejadian itu, Mahisa telah dimiliki orang lain.
Butuh waktu lama menghilangkan bekas luka yang tak jua menghilang.
Mahira berharap dia tidak akan bertemu dengan Mahisa lagi. Dia tidak ingin luka
itu hadir kembali. Cukup sekali dia mencintai orang yang tak setia. Cukup
sekali dia menginginkan orang yang tak menginginkannya. Dia beranggapan bahwa
Mahisa tak benar-benar mencintainya. Mahira merasa telah menyi-nyiakan hidupnya
selama lima tahun dengan mencintai Mahisa yang telah menghianatinya.
Kemudian dia berusaha bangkit dan melupakan sakit hatinya itu. Rasa
cinta yang menggunung dulu berubah menjadi benci dengan tingkatan yang lebih
tinggi. Hanya dengan menangis dan meratapi kesedihannya tidak akan mengubah
keadaan bahwa Mahisa telah pergi darinya. Kini saatnya membuktikan pada Mahisa
bahwa dia bisa melanjutkan hidup dan berbahagia dengan orang lain melebihi yang
Mahisa rasakan. Dia akan lebih sukses dan berhasil daripada orang yang
menghianatinya itu.
Bekerja menjadi seorang novelis sedikit melupakan kisah hidupnya. Dengan
menulis, dia bisa mencurahkan perasaannya yang tak mampu diuangkapkan pada
orang lain. Biarlah duka itu disimpannya sendiri, dia harus bisa mengakhiri
sakit hati yang menyerangnya tanpa bisa dia lawan. Mahisa adalah kisah sedih
yang harus dibuang jauh-jauh dari hidupnya. Berangsur-angsur hidunya kembali
normal. Tapi itu tak berlangsung lama.
Dia harus menatap sumber pematah semangatnya itu pada suatu waktu. Harum
tubuh, tatapan mata, dan senyum indah itu hadir kembali tepat di depan matanya.
Dada Mahira berdegup kencang. Tubuhnya bergetar hebat. Entah perasaan itu
tiba-tiba muncul seketika. Dia hampir tak percaya. Mahira harus seruangan
dengan orang yang ingin dia lupakan. Mahisa pun tak kalah terkejutnya. Matanya
hampir tak mau lepas dari orang yang pernah disakitinya itu.
Selama ini Mahira menjaga sikap agar mempelihatkan sikap yang wajar
ketika bertemu dengan Mahisa. Dia tidak ingin rekan kerjanya tahu apa yang
terjadi antara mereka dulu. Sakit hatinya memaksa Mahira untuk membalas
perlakuan Mahisa dulu. Hari-hari bekerja dengan Mahisa, Mahira kembali
merasakan perhatian yang dulu hilang. Tapi Mahisa tak ingin terjebak untuk
kedua kalinya. Dia membalas perhatian itu, tapi bukan karena dia ingin kembali
pada mantan kekasihnya itu. Dia menganggap Mahisa tak lebih dari seorang
pecundang. Dulu dia meninggalkannya untuk orang lain. Entah apa alasannya.
Sampai sekarang pun Mahira tidak tahu dan tak ingin tahu. Sekarang dia
menginginkannya kembali dan mengabaikan orang yang dipilihnya sendiri tanpa
mempedulikan perasaan pasangannya. Ya, Mahisa adalah pecundang yang suka
mempermainkan hati perempuan. Dendamnya harus terbalaskan. Dan dendam itu
mengubah Mahira menjadi sosok yang lain. Hatinya yang tulus berubah menjadi
keras dengan ambisi dendam yang memuncak. Bagaimanapun juga Mahisa harus
merasakan apa yang dulu dia rasakan.
Dan perasaan itu hampir mengeram dalam hatinya. Tapi semua berubah
seketika saat dia mendengar bisikan-bisikan di kanan kiri yang membicarakan
tentang orang yang pernah dicintainya.
“Kasihan Mahisa, aku pikir dia tak merasakan kebahagiaan setelah
menikah.” kata mereka.
“Iya, istrinya sibuk dengan kariernya, dan dia sibuk dengan urusannya
sendiri. Lima tahun menikah keluarganya datar tanpa ada kasih sayang.”
“ Itu salahnya sendiri karena menerima tawaran menikah demi ambisinya
menjadi seorang jurnalis, dia pikir uang bisa membahagiakannya.”
“Sttt… jangan salah menyangka, Mahisa adalah teman dekatku, dia
melakukan itu karena terpaksa, keluarganya butuh uang waktu itu. Dan orang yang
bisa menolongnya adalah Ayah dari istrinya.
“Tapi, menurutku itu buka keputusan yang terbaik. Menikah dengan orang
yang tak dicintainya hanya akan menyengsarakannya, bukan hanya dia, ibunya
juga. Kalian tahu, ibunya sakit karena kehilangan calon menantu yang sangat
dicintainya waktu itu, entah siapa orang itu….”
Hati Mahira seakan berhenti berdetak mendengar percakapan itu. Bukankah
dulu dia sangat akrab dengan ibu Mahisa? Bukankah ibu Mahisa sering menyuapinya
saat dia datang ke rumahnya? Bukankah dulu ibu Mahisa selalu membelanya saat
dia bertengkar dengan Mahisa? Berbagai pertanyaan yang tak mampu dia jawab
mengitari benaknya. Tiba-tiba air matanya menderas membajiri kedua pipinya.
Apakah calon menantu yang membuat ibu Mahisa sakit itu adalah aku? Mahira
menangis di kamar mandi sambil menutup mulutnya supaya tak ada yang mendengar
isak tangisnya. Itulah kisah yang menghapuskan dendam di hati Mahira. Tiba-tiba
hadir kembali rasa yang dulu pernah bersemayam dihatinya.
Saat ini ditemani irama hujan Mahira kembali mendengarkan kata maaf yang
terlontar dari mulut Mahisa. Andai dia menyadari, betapa tulusnya perasaan
seorang Mahira yang pernah menyakitinya. Kekecewaannya yang mendalam bukti
bahwa Mahira sangat mencintai Mahisa. Dan dendam itu adalah bentuk kekesalan
Mahira yang merasa dihianati oleh Mahisa.
“Kenapa kau datang lagi dalam hidupku, Mahisa?” tanya Mahira lirih.
Dalam hatinya berharap agar hujan semakin menderas untuk menyembunyikan air
matanya.”Belum puaskah kau menyakitiku?” lanjutnya.
“Kau pikir aku bahagia meninggalkanmu, bukankah aku pernah bilang, mungkin
ragaku bersama orang lain, tapi hatiku hanya milikmu, Hira, hanya kau!” jawab
Mahisa sambil menundukkan wajahnya.
“Lalu kenapa kau meninggalkanku, tidak adakah cara lain untuk mengatasi
masalahmu yang tak pernah kau ceritakan padaku?”
“Biar aku sendiri yang menanggung dosaku padamu, sepanjang ingatanku
hanya dirimu yang hadir dalam otakku. Saat aku terpejam, kaulah yang mengisi
ruang bawah sadarku, saat mata ini terbuka, wajahmu juga yang kulihat
dimana-mana. Apakah kau meragukan cintaku?”
“Tapi kenapa kau memilih orang lain, apa kau tahu bagaimana hancurnya
hatiku saat itu?”
“Maaf, aku tak mempedulikan sakit hatimu waktu itu, aku hanya sibuk
mengurusi sakit hatiku sendiri saat melepaskanmu.”
“Mahisa, aku pikir kau melepaskanku untuk kebahagianmu. Jika aku tahu
kau tidak bahagia, aku tak akan mau kau lepaskan. Kenapa kau lakukan ini
padaku, Hisa??
Tangis Mahira tak terbendung lagi. Hujan deras yang mengguyur tubuh
mereka tak mampu menyembunyikan tangis kedua insan yang saling mencinta itu.
“Maaf ….!” kata-kata itu lagi yang mampu diucapkan oleh Mahisa.
“Semua sudah terlambat, Mahisa, kisah kita hanyalah cerita yang akan
hilang sewaktu-waktu. Tuhan tidak menakdirkan kita bersatu. Kau harus bahagia,
begitupun aku. Kita harus bahagia meski tak bisa bersama.” kata Mahira
menguatkan hatinya sendiri.
Mahisa memandang Mahira. Dipeluknya tubuh ramping Mahira dengan segenap
perasaannya.
“Mahira, aku tahu ini terlambat. Andai waktu bisa kuulang kembali, aku
tak akan melepaskanmu, tak akan pernah!”
“Mahisa, berbahagialah dengannya sekarang, di kehidupan kedua nanti aku
akan merebutmu darinya.”
“Tidak Sayang, aku membiarkan tubuhku di samping orang lain, tapi hatiku
kutitipkan padamu. Jagalah hingga Tuhan mempercayakan kau padaku.”
Mahira tak mampu berkata-kata lagi. Dia membiarkan air hujan menyeka air
matanya. Dia tumpahkan kesedihannya di dada Mahisa sembari berharap agar Tuhan
akan mengabulkan impian mereka. Dia yakin Tuhan menyiapkan kisah yang baru atas
nama cinta mereka.
“Tuhan hentikan waktu saat ini, biarlah aku merasakan kebahagiaan yang
dulu pernah hilang bersama orang yang kucintai.”Mahira semakin mempererat
pelukannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar