Kamis, 08 Oktober 2015

Batas Tipis Rindu Dendam



BATAS TIPIS RINDU DENDAM

Hawa dingin merebak menghembuskan wewangian bunga sore. Awan  hitam menghiasi langit pertanda hujan segera tiba. Sesekali kilat menyambar menorah pesona angker di langit kelam. Kiranya cuaca hari ini sedang tak bersahabat dengan alam.
Mahira terdiam sembari memainkan jari jemarinya. Mata indahnya berkaca-kaca menahan beban air mata yang sedari tadi ingin tumpah. Rambutnya berkibar-kibar dimainkan desah angin. Mukanya semendung suasana sore ini. Di sampingnya, berdiri Mahisa yang tak kalah muramnya dengan Mahira.
“Maaf!” kata-kata itu sering Mahira dengar dari mulut Mahisa. Dulu dengan angkuhnya, Mahira mencibir semua perlakuan Mahisa terhadapnya. Perasaan kecewa dan marah tak mampu tertebus hanya dengan ucapan itu. Mahisa, orang yang telah membawanya ke dalam kebahagiaan lalu melemparkannya ke jurang duka. Kasih sayang yang menggunung dan melahirkan harapan ternyata hanya impian belaka. Harapannya hancur berkeping-keping. Tapi saat ini hatinya lebih hancur lagi.
Ritme hujan mengantarkannya membuka memori tujuh tahun silam. Masa-masa indah itu terasa seperti baru kemarin. Senyum, perhatian, dan cemburu Mahisa masih membekas di hati Mahira. Waktu itu, dia merasa menjadi seorang putri yang selalu dilindungi pangerannya Hari-hari Mahira dihiasi kebahagiaan sebelum akhirnya direnggut oleh sesuatu yang tidak dia mengerti.
“Mahira, kau tahu aku sangat menyayangimu,” kata Mahisa waktu itu.
“Sangat tahu. Bukankah kau sudah membuktikan selama lima tahun ini.” sahut Mahira sambil menatap wajah indah kekasihnya itu.
“Bisakah kau hidup tanpaku?” pertanyaan itu membuat Mahira terkejut. Dengan tatapan tajam dia menatap Mahisa.
“Hisa, apa maksud pertanyaanmu, apakah itu berarti kau akan meninggalkanku?” tanya Mahira.
“Mahira, aku tidak meninggalkanmu, orang lain boleh memiliki ragaku, tetapi tidak untuk hatiku.”
Mahira terisak. Dia tak tahu arah pembicaraan Mahisa. Tapi dia merasa Mahisa akan meninggalkannya. Mahisa menggenggam tangan Mahira. Dia hampir tak bisa berkata-kata. Tubuhnya lemas kemudian melabuhkannya ke bahu orang yang sangat dikasihinya.
“Ini berat, sangat berat. Mahira, kau tahu di luar sana ada kebahagiaan untukmu, kita tak bisa bersatu, meski kita saling menyayangi, Tapi banyak perbedaan antara kita. Umur kita terpaut jauh, pekerjaan kita bertolak belakang, lalu ….,”
“Lalu apalagi, aku tak menganggap itu semua sebagai perbedaan, apa yang terjadi Mahisa, apa aku tak pantas untukmu?” tanya Mahira memotong pembicaraan Mahisa.
“Tidak sayang, aku, aku … keadaan memaksaku untuk menikah dengan perempuan lain dan aku harus melakukannya, aku terpaksa … aku ….maafkan aku, Hira.” kata Mahisa. Mahira tidak tahu bagaimana perasaan kekasihnya waktu itu. Dia hanya melihat wajah Mahisa yang menahan kesedihan yang amat sangat.
Setelah kejadian itu, Mahira lebih sering mengurung diri di kamar. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya. Apa alasan Mahisa melakukan itu padanya.  Hatinya benar-benar hancur, apalagi selang beberapa minggu setelah kejadian itu, Mahisa telah dimiliki orang lain.
Butuh waktu lama menghilangkan bekas luka yang tak jua menghilang. Mahira berharap dia tidak akan bertemu dengan Mahisa lagi. Dia tidak ingin luka itu hadir kembali. Cukup sekali dia mencintai orang yang tak setia. Cukup sekali dia menginginkan orang yang tak menginginkannya. Dia beranggapan bahwa Mahisa tak benar-benar mencintainya. Mahira merasa telah menyi-nyiakan hidupnya selama lima tahun dengan mencintai Mahisa yang telah menghianatinya.
Kemudian dia berusaha bangkit dan melupakan sakit hatinya itu. Rasa cinta yang menggunung dulu berubah menjadi benci dengan tingkatan yang lebih tinggi. Hanya dengan menangis dan meratapi kesedihannya tidak akan mengubah keadaan bahwa Mahisa telah pergi darinya. Kini saatnya membuktikan pada Mahisa bahwa dia bisa melanjutkan hidup dan berbahagia dengan orang lain melebihi yang Mahisa rasakan. Dia akan lebih sukses dan berhasil daripada orang yang menghianatinya itu.
Bekerja menjadi seorang novelis sedikit melupakan kisah hidupnya. Dengan menulis, dia bisa mencurahkan perasaannya yang tak mampu diuangkapkan pada orang lain. Biarlah duka itu disimpannya sendiri, dia harus bisa mengakhiri sakit hati yang menyerangnya tanpa bisa dia lawan. Mahisa adalah kisah sedih yang harus dibuang jauh-jauh dari hidupnya. Berangsur-angsur hidunya kembali normal. Tapi itu tak berlangsung lama.
Dia harus menatap sumber pematah semangatnya itu pada suatu waktu. Harum tubuh, tatapan mata, dan senyum indah itu hadir kembali tepat di depan matanya. Dada Mahira berdegup kencang. Tubuhnya bergetar hebat. Entah perasaan itu tiba-tiba muncul seketika. Dia hampir tak percaya. Mahira harus seruangan dengan orang yang ingin dia lupakan. Mahisa pun tak kalah terkejutnya. Matanya hampir tak mau lepas dari orang yang pernah disakitinya itu.
Selama ini Mahira menjaga sikap agar mempelihatkan sikap yang wajar ketika bertemu dengan Mahisa. Dia tidak ingin rekan kerjanya tahu apa yang terjadi antara mereka dulu. Sakit hatinya memaksa Mahira untuk membalas perlakuan Mahisa dulu. Hari-hari bekerja dengan Mahisa, Mahira kembali merasakan perhatian yang dulu hilang. Tapi Mahisa tak ingin terjebak untuk kedua kalinya. Dia membalas perhatian itu, tapi bukan karena dia ingin kembali pada mantan kekasihnya itu. Dia menganggap Mahisa tak lebih dari seorang pecundang. Dulu dia meninggalkannya untuk orang lain. Entah apa alasannya. Sampai sekarang pun Mahira tidak tahu dan tak ingin tahu. Sekarang dia menginginkannya kembali dan mengabaikan orang yang dipilihnya sendiri tanpa mempedulikan perasaan pasangannya. Ya, Mahisa adalah pecundang yang suka mempermainkan hati perempuan. Dendamnya harus terbalaskan. Dan dendam itu mengubah Mahira menjadi sosok yang lain. Hatinya yang tulus berubah menjadi keras dengan ambisi dendam yang memuncak. Bagaimanapun juga Mahisa harus merasakan apa yang dulu dia rasakan.
Dan perasaan itu hampir mengeram dalam hatinya. Tapi semua berubah seketika saat dia mendengar bisikan-bisikan di kanan kiri yang membicarakan tentang orang yang pernah dicintainya.
“Kasihan Mahisa, aku pikir dia tak merasakan kebahagiaan setelah menikah.” kata mereka.
“Iya, istrinya sibuk dengan kariernya, dan dia sibuk dengan urusannya sendiri. Lima tahun menikah keluarganya datar tanpa ada kasih sayang.”
“ Itu salahnya sendiri karena menerima tawaran menikah demi ambisinya menjadi seorang jurnalis, dia pikir uang bisa membahagiakannya.”
“Sttt… jangan salah menyangka, Mahisa adalah teman dekatku, dia melakukan itu karena terpaksa, keluarganya butuh uang waktu itu. Dan orang yang bisa menolongnya adalah Ayah dari istrinya.
“Tapi, menurutku itu buka keputusan yang terbaik. Menikah dengan orang yang tak dicintainya hanya akan menyengsarakannya, bukan hanya dia, ibunya juga. Kalian tahu, ibunya sakit karena kehilangan calon menantu yang sangat dicintainya waktu itu, entah siapa orang itu….”
Hati Mahira seakan berhenti berdetak mendengar percakapan itu. Bukankah dulu dia sangat akrab dengan ibu Mahisa? Bukankah ibu Mahisa sering menyuapinya saat dia datang ke rumahnya? Bukankah dulu ibu Mahisa selalu membelanya saat dia bertengkar dengan Mahisa? Berbagai pertanyaan yang tak mampu dia jawab mengitari benaknya. Tiba-tiba air matanya menderas membajiri kedua pipinya. Apakah calon menantu yang membuat ibu Mahisa sakit itu adalah aku? Mahira menangis di kamar mandi sambil menutup mulutnya supaya tak ada yang mendengar isak tangisnya. Itulah kisah yang menghapuskan dendam di hati Mahira. Tiba-tiba hadir kembali rasa yang dulu pernah bersemayam dihatinya.
Saat ini ditemani irama hujan Mahira kembali mendengarkan kata maaf yang terlontar dari mulut Mahisa. Andai dia menyadari, betapa tulusnya perasaan seorang Mahira yang pernah menyakitinya. Kekecewaannya yang mendalam bukti bahwa Mahira sangat mencintai Mahisa. Dan dendam itu adalah bentuk kekesalan Mahira yang merasa dihianati oleh Mahisa.
“Kenapa kau datang lagi dalam hidupku, Mahisa?” tanya Mahira lirih. Dalam hatinya berharap agar hujan semakin menderas untuk menyembunyikan air matanya.”Belum puaskah kau menyakitiku?” lanjutnya.
“Kau pikir aku bahagia meninggalkanmu, bukankah aku pernah bilang, mungkin ragaku bersama orang lain, tapi hatiku hanya milikmu, Hira, hanya kau!” jawab Mahisa sambil menundukkan wajahnya.
“Lalu kenapa kau meninggalkanku, tidak adakah cara lain untuk mengatasi masalahmu yang tak pernah kau ceritakan padaku?”
“Biar aku sendiri yang menanggung dosaku padamu, sepanjang ingatanku hanya dirimu yang hadir dalam otakku. Saat aku terpejam, kaulah yang mengisi ruang bawah sadarku, saat mata ini terbuka, wajahmu juga yang kulihat dimana-mana. Apakah kau meragukan cintaku?”
“Tapi kenapa kau memilih orang lain, apa kau tahu bagaimana hancurnya hatiku saat itu?”
“Maaf, aku tak mempedulikan sakit hatimu waktu itu, aku hanya sibuk mengurusi sakit hatiku sendiri saat melepaskanmu.”
“Mahisa, aku pikir kau melepaskanku untuk kebahagianmu. Jika aku tahu kau tidak bahagia, aku tak akan mau kau lepaskan. Kenapa kau lakukan ini padaku, Hisa??
Tangis Mahira tak terbendung lagi. Hujan deras yang mengguyur tubuh mereka tak mampu menyembunyikan tangis kedua insan yang saling mencinta itu.
“Maaf ….!” kata-kata itu lagi yang mampu diucapkan oleh Mahisa.
“Semua sudah terlambat, Mahisa, kisah kita hanyalah cerita yang akan hilang sewaktu-waktu. Tuhan tidak menakdirkan kita bersatu. Kau harus bahagia, begitupun aku. Kita harus bahagia meski tak bisa bersama.” kata Mahira menguatkan hatinya sendiri.
Mahisa memandang Mahira. Dipeluknya tubuh ramping Mahira dengan segenap perasaannya.
“Mahira, aku tahu ini terlambat. Andai waktu bisa kuulang kembali, aku tak akan melepaskanmu, tak akan pernah!”
“Mahisa, berbahagialah dengannya sekarang, di kehidupan kedua nanti aku akan merebutmu darinya.”
“Tidak Sayang, aku membiarkan tubuhku di samping orang lain, tapi hatiku kutitipkan padamu. Jagalah hingga Tuhan mempercayakan kau padaku.”
Mahira tak mampu berkata-kata lagi. Dia membiarkan air hujan menyeka air matanya. Dia tumpahkan kesedihannya di dada Mahisa sembari berharap agar Tuhan akan mengabulkan impian mereka. Dia yakin Tuhan menyiapkan kisah yang baru atas nama cinta mereka.
“Tuhan hentikan waktu saat ini, biarlah aku merasakan kebahagiaan yang dulu pernah hilang bersama orang yang kucintai.”Mahira semakin mempererat pelukannya.
***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar